MODEL KAUSAL PARTISIPASI POLITIK AKTIVIS GERAKAN MAHASISWA
DISERTASI
Oleh :
Andik Matulessy
Prof. Djamaludin Ancok,Ph.D
Promotor
Prof. Koentjoro,M.BSc.Ph.D
Ko-promotor
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2008
BAB I
PENDAHULUAN
A.Permasalahan
Setelah tahun 1998 dianggap sebagai tahun kemenangan gerakan mahasiswa, maka suara protes mahasiswa seolah tertelan oleh berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik. Berbagai usaha untuk menuntaskan reformasi ekonomi, sosial dan politik banyak dilakukan setelah terjadinya gerakan moral mahasiswa untuk menutup peluang rezim Orde Baru muncul lagi di pemerintahan. Sebagian besar aktivis mahasiswa kembali lagi ke dalam kampus untuk berkonsentrasi dengan masalah akademis / perkuliahan, namun ada pula sebagian yang bersikukuh untuk tetap bergerak melakukan protes tentang berbagai persoalan yang terjadi di negara.
Bahkan ada beberapa elemen gerakan mahasiswa yang masih tetap melakukan berbagai protes pada era kepemimpinan Habibie, Abdurrachman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, maupun saat pemerintahan Presiden Pertama RI hasil pilihan rakyat, Soesilo Bambang Yudhoyono. Di sisi lain, banyak pula aktivis kelompok gerakan mahasiswa yang kemudian bermetamorfose menjadi anggota partai politik peserta Pemilu.
Namun demikian secara umum gerakan mahasiswa setelah tahun 1998 seakan terlupakan dan hanya dianggap riak kecil yang tidak terlalu diperhitungkan dalam kancah perpolitikan nasional. Apalagi pada masa-masa tersebut muncul Undang Undang no. 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang mengatur tentang tata tertib dalam melakukan kegiatan pengumpulan massa atau demonstrasi. Jadi semakin sulitlah bagi aktivis gerakan mahasiswa untuk melakukan protes ke jalan untuk mengkritisi kinerja pemerintahan.
Ketidakmampuan gerakan mahasiswa untuk tampil kembali dalam kekuatan yang besar membuat bargaining power mereka menurun. Mereka semakin sulit untuk mendapatkan tempat untuk mengeluarkan ide / gagasan guna mencapai perubahan yang diinginkan. Hal tersebut karena nuansa protes lebih mengarah pada ruang gerak atau tema yang relatif sempit. Selain itu isu yang dibawa oleh gerakan mahasiswa cenderung parsial dan bernuansakan kepentingan kelompok tertentu (primordial), atau kepentingan afiliasi partai politik tertentu, sehingga kurang memunculkan gaung solidaritas dari kelompok gerakan mahasiswa yang lain. Apalagi aparat penegak hukum semakin berani bertindak represif terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi, sehingga banyak aktivis gerakan mahasiswa yang ditangkap saat menyuarakan protes. Kondisi seperti inilah yang dapat menumpulkan keinginan sebagian aktivis gerakan mahasiswa untuk melakukan aksi protes ke jalan.
Memang terpilahnya gerakan mahasiswa menjadi dua kelompok besar tentunya akan merenggangkan sinergi dari keduanya. Kondisi ini akan semakin melemahkan kekuatan gerakan mahasiswa untuk melakukan berbagai perubahan sebagaimana amanat dari reformasi. Bagaimanapun juga kedua kelompok tsb merupakan bagian besar dari kelompok gerakan mahasiswa yang telah bersama-sama membangun sebuah kekuatan besar untuk meruntuhkan Orde Baru pada tahun 1998. Bahkan keretakan di antara kelompok gerakan mahasiswapun masih terlihat saat MPR mengadakan Sidang Istimewa.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setelah era reformasi, kelompok gerakan mahasiswa rentan untuk terbelah oleh pandangan atau persepsi yang berbeda tentang suatu isu politik tertentu. Sebagai contoh dalam menghadapi Pemilu 1999, aktivis gerakan mahasiswa terpilah menjadi tiga kelompok yang memiliki sikap yang berbeda, yakni : kelompok yang mendukung pemilu tanpa syarat, kelompok yang mendukung pelaksanaan pemilu dengan syarat tertentu, serta kelompok yang tetap meneruskan isu-isu utama, yakni pengadilan Soeharto beserta kroninya, penghapusan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan pembentukan pemerintahan transisi (Suharsih & Ign Mahendra K, 2007).
Kemudian pasca ditolaknya pertanggung-jawaban Habibie dan dilengserkannya beliau sebagai Presiden RI ke tiga dan berujung pada terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, gerakan mahasiswa tidak berhenti begitu saja. Banyak kritik yang ditujukan kepada Presiden Abdurrachman Wahid, utamanya isu komersialisasi pendidikan, ketidaktotalan dalam mengusung demokrasi, Bulog gate, dsb. Saat itupun gerakan mahasiswa terpecah menjadi kelompok pendukung dan yang menolak Gus Dur. Pada akhirnya realitas (huru hara) politik menghasilkan pencabutan mandat MPR terhadap Gus Dur sebagai Presiden pada tanggal 21 Oktober 2001 yang digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Tampilnya Megawati sebagai Presiden RI kelima ternyata tidak menyurutkan gerakan mahasiswa untuk menyuarakan protes. Hal tersebut karena banyak persoalan yang tidak diselesaikan dengan baik pada masa pemerintahannya. Mulai dari persoalan tidak tuntasnya penyelesaian masalah HAM, munculnya Undang Undang yang tidak berpihak pada rakyat (UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Ketenagakerjaan, UU tentang MinyakBumi dan Gas), dan melejitnya kasus disintegrasi pada berbagai wilayah di Indonesia.
Berdasarkan berbagai data selama bulan Nopember 2001 – Maret 2002 (Suharsih & Ign Mahendra K, 2007), jumlah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa sekitar 54 aksi yang melibatkan tidak kurang dari 23.347 mahasiswa dan pelajar. Dari 54 aksi demonstrasi, 52 di antaranya merupakan aksi yang bernuansakan politik, yakni tuntutan yang diperjuangkan untuk kepentingan rakyat banyak. Hal ini belum ditambah dengan banyaknya aksi protes yang dilakukan oleh organisasi buruh dan petani.
Pada periode tersebut layak disebut dengan era maraknya aksi demonstrasi di seluruh wilayah Indonesia. Banyak sekali kegiatan aksi protes yang ditujukan kepada Pemerintahan Megawati waktu itu. Bahkan banyak pula terjadi bentrokan antara aparat dengan aktivis demonstran pada masa-masa ini, karena mahasiswa mulai berani melakukan pembakaran gambar Presiden dan Wakil Presiden. Tidak hanya bentrokan antara aparat dan mahasiswa, namun juga terjadi penangkapan dan memenjarakan aktivis mahasiswa yang melakukan protes waktu itu. Kondisi ini tidak semakin mengendurkan semangat para aktivis mahasiswa untuk tidak melakukan protes, namun seolah-olah menjadi pemantik munculnya berbagai aksi demonstrasi yang lebih besar.
Nnampak sekali gerakan mahasiswa antara tahun 2002-2004 tersebut tidak banyak menonjolkan pesan moral dan isu sosial, utamanya menyangkut pandangan dan penyikapan terhadap berbagai persoalan masyarakat, namun mulai masuk ke wilayah atau isu politik. Selain itu muncul sebuah fenomena ketidakpopuleran dan konflik internal dari gerakan mahasiswa sebagai lahan protes. Hal ini dapat terlihat dari minimnya partisipan atau peserta aksi protes, dan terbelahnya isu gerakan pada berbagai poros politik. Kondisi tersebut membuat gerakan mahasiswa kurang mendapatkan dukungan dari masyarakat luas, bahkan dari mahasiswa yang lain.
Keterkaitan antara partisipasi aktivis gerakan mahasiswa dengan persoalan politik tersebut merupakan sebuah kewajaran, seperti diungkapkan Goodwin & Jasper (2003) bahwa sebuah gerakan sosial merupakan sumber utama dari dari perubahan dan konflik politik. Hal tersebut berarti partisipan dalam gerakan sosial seringkali mengungkapkan new political issues and ideas, utamanya sebagai respon untuk memberikan solusi terhadap berbagai problem sosial yang diakibatkan dari kekuasaan politik tertentu.
Gerakan mahasiswa yang masuk pada ranah politik dan kepentingan golongan tertentu bisa mengubah persepsi awal dari masyarakat umum bahwa mahasiswa adalah kelompok intelektual yang netral dan menekankan pada gerakan moral. Masyarakat lambat laun menilai mahasiswa telah terasuki oleh kepentingan politik yang tak terpisahkan dari kekuasaan, sehingga nantinya bias melunturkan semangat untuk mengkritisi kebijakan penguasa. Selain itu sebagai kelompok yang masih dianggap murni dari keberpihakan pada kekuasaan dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat yang tertindas, mahasiswa sebenarnya diharapkan tidak lagi berdekatan dengan persoalan dukungan terhadap aliansi partai politik tertentu.
Memang bila ditelaah lebih jauh ternyata masih ada berbagai elemen gerakan mahasiswa yang mengusung kepentingan golongan masyarakat yang tidak mendapatkan keadilan, tanpa termuati kepentingan politik tertentu. Hal ini didukung oleh pandangan Goodwin & Jasper (2003) bahwa gerakan sosial bisa muncul sebagai bentuk ekspresi dari sensibilitas moral terhadap berbagai persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Isu sosial yang paling kental adalah keberpihakan gerakan mahasiswa pada masalah yang terkait dengan penggusuran tanah, protes terhadap penggusuran para pedagang kaki lima (PKL), militerisme, meraja-lelanya korupsi-kolusi-nepotisme, hak buruh, atau kesewenangan penguasa. Kelompok masyarakat yang biasanya mendapatkan bantuan atau perluasan isu dari gerakan mahasiswa adalah kelompok yang terpinggirkan, seperti : guru, pedagang, buruh, warga yang kena penggusuran, serta warga sipil yang membutuhkan keadilan.
Namun demikian persoalan yang utama dari gerakan moral mahasiswa tersebut adalah lemahnya sustainability gerakan, karena tidak adanya dukungan dana yang memadai untuk menghadirkan berbagai aksi dan beralihnya fokus para aktivis pada persoalan perkuliahan. Pada akhirnya gerakan yang berlandaskan moral dan terbebas dari kepentingan politis tersebut hanya bersifat sporadis dan berlangsung dalam jangka waktu pendek, karena hanya mengandalkan pada fanatisme anggotanya.
Ada beberapa catatan kejadian lain dari berbagai gerakan protes mahasiswa yang banyak termuati kepentingan politik atau golongan tertentu maupun isu yang mempertanyakan ketidakadilan yang terjadi di Jawa Timur khususnya, antara lain: di Surabaya puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Maluku Pro NKRI membakar bendera RMS dan menuntut ketegasan Polri dalam menghadapi kelompok separatis Maluku (Surya, 28 April 2004). Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Forum Anti Capres Militer melakukan aksi demo menolak capres dari kalangan Militer (Surya, 28 April 2004). Di Magetan, mahasiswi Akademi Kebidanan (Akbid) melakukan aksi mogok kuliah dan mengancam akan melakukan demo di Politeknik Kesehatan Surabaya menuntut keadilan agar mahasiswi diperbolehkan praktek di luar kota (Surya, 28 April 2004). Di Bangkalan, dua mahasiswa Unijoyo melakukan mogok makan untuk menentang rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Madura (Surya, 28 April 2004). Di Jember, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Ganyang Koruptor (Alligator), menolak Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ) Bupati Jember (Surya, 28 April 004). Di Sidoarjo, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Unmuh Sidoarjo, menggelar demonstrasi dengan tuntutan, mencabut dwi fungsi ABRI, menolak militerisme, menolak antek Orba, serta menolak pencalonan Wiranto dan SBY (Surya, 28 April 2004). Di Jakarta, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Anti Diskriminasi melakukan unjuk rasa di gedung Mahkamah Agung mendesak KPU dan MA mencabut SK no. 26 / 2004 tentang diskriminasi dalam persyaratan capres/ cawapres (Surya, 28 April 2004). Di Ngawi, demonstrasi dilakukan oleh guru dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Guru (FSG) yang mempersoalkan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil 2003 yang tidak jelas parameternya, tidak adil dan penuh nuansa kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tidak profesional.
Gerakan mahasiswa semakin mendapat dukungan dari kelompok mahasiswa lain setelah kejadian pada awal Mei 2004 yakni adanya friksi antara mahasiswa Universitas Muslim Indonesia dengan aparat kepolisian di Makasar. Terlepas dari kesalahan pada masing-masing pihak, tetapi peristiwa ini telah meletupkan gelombang protes dari berbagai elemen gerakan mahasiswa di Indonesia. Gelombang gerakan protes mahasiswa mulai menjamur seiring dengan peristiwa di UMI Makasar tersebut. Bahkan pada tanggal 4 Mei 2004 ribuan mahasiswa dari perguruan tinggi se Makasar melakukan aksi solidaritas insiden UMI dengan naik truk, sepeda motor dan jalan kaki serta membakar ban bekas untuk memblokir jalan utama, sehingga membuat kota Makasar macet total.
Aksi solidaritas para aktivis gerakan mahasiswa pada tragedi yang terjadi di UMI Makasar akhirnya muncul di berbagai tempat ternyata mengkaitkan kejadian tersebut dengan persoalan lain seperti aksi militerisme, keinginan membentuk civil society, dan mengkritisi ketidakmampuan dari aparat pemerintah dalam menyelesaikan problem sosial & ekonomi yang terjadi di masyarakat. Aksi solidaritas dari elemen gerakan mahasiswa yang lain tersebut di antaranya terjadi di Surabaya, yakni puluhan aktivis mahasiswa yang menamakan diri Keluarga Besar Mahasiswa IAIN Sunan Ampel (KBMI) melakukan unjuk rasa ke Polda Jawa Timur dengan tuntutan meminta Kapolri mundur sebagai solidaritas pada mahasiswa UMI Makasar (Surya, 5 Mei 2004). Di Malang, ada dua kelompok gerakan mahasiswa yang melakukan demo, yakni Aliansi Mahasiswa untuk Demokrasi (AMUK) yang menggelar aksi keprihatinan tragedi UMI dan Ikatan Keluarga Besar Maluku (IKBM) Malang yang menggelar aksi di halaman DPRD Kota Malang menuntut mundur Kapolda Maluku karena dianggap tidak mampu menyelesaikan gerakan separatis FKM / RMS (Surya, 5 Mei 2004). Di Semarang, mahasiswa Universitas Negeri Semarang dan UNISULA melakukan protes sebagai solidaritas tragedi UMI (Surya, 5 Mei 2004). Di Tulungagung, ada dua kelompok mahasiswa yang berdemonstrasi, yakni mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAIN Tulungagung dan mahasiswa yang tergabung dalam GMNI melakukan aksi solidaritas terhadap mahasiswa UMI Makasar yang menjadi korban kekerasan polisi (Surya, 6 Mei 2004). Di Surabaya, ratusan massa dari Front Demokrasi Bersatu berdemonstrasi di Kantor Gubernur (Grahadi), karena menolak calon Presiden dari militer (Surya, 7 Mei 2004). Sebagai bentuk protes pada tragedi pemukulan mahasiswa UMI Makasar, mahasiswa yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Lamongan (K-Mal) melakukan demonstrasi untuk menolak pencalonan Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden, karena dikhawatirkan akan melahirkan kembali arogansi militer dalam pemerintahan. K-Mal ini terdiri dari unsur Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Solidaritas Mahasiswa Universitas Islam Darul Ulum (SMUDA), dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lamongan (Surya, 7 Mei 2004). Di Jember, mahasiswa yang tergabung dalam HMI, PMII, GMNI dan Kompak menggelar aksi memprotes tindakan aparat kepolisian dalam menangani aksi mahasiswa UMI Makasar. Di Surabaya, mahasiswa berbagai universitas yang tergabung dalam Aliansi Peduli Universitas Muslim Indonesia melakukan unjuk rasa di Mapolda Jawa Timur dengan tuntutan penegakan supremasi hukum pada oknum polisi yang terlibat insiden Makasar (Surya, 7 Mei 2004).
Gerakan mahasiswa seakan mendapatkan ruang gerak untuk mengkritisi penanganan berbagai problem sosial dan kebijakan politik pemerintah yang tidak memihak pada rakyat kecil. Berbagai organisasi gerakan sosial (social movement organization/ SMO) dibentuk untuk mempertanyakan tentang korupsi di kalangan legislatif sampai dengan hasil kebijakan 100 hari kebijakan SBY yang belum nampak nyata, utamanya dalam menangani KKN, penanganan hukum dan hak asasi manusia, serta pemulihan kondisi ekonomi. Gelombang gerakan protes mahasiswa ini semakin membesar setelah adanya kebijakan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan BBM. Berbagai protes muncul hampir di sebagian besar universitas di tanah air, baik dalam skala lokal, regional maupun nasional. Isu yang diusung oleh sebagian besar gerakan protes mahasiswa pada saat ini adalah kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang dianggap bisa membuat masyarakat semakin terpuruk secara ekonomi. Sebagaimana yang dilansir dalam Tempo (29 September 2005) bahwa terjadi demonstrasi besar-besaran di hampir semua kota di Indonesia, di Jakarta sekitar 3000 mahasiswa bersama elemen lain mengepung istana; di Makasar sekitar 500 mahasiswa menduduki rumah pribadi Wakil Presiden, Jusuf Kalla; di Cirebon, mahasiswa bersama pelajar SMA memblokir jalur Pantai Utara Jawa sehingga menyebabkan kemacetan total; pengunjuk rasa melakukan long march dan berorasi di gedung DPRD antara di Jember, Malang, Palu, Medan dan Manado; di Sulawesi Tengah terjadi bentrokan antara polisi dan mahasiswa. Hal ini berlanjut dengan gerakan protes mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tentang transparansi pengangkatan PNS, rencana kebijakan pemerintah tentang kenaikan tarif dasar listrik, dsb.
Sebagaimana diketahui, dibandingkan dengan gerakan mahasiswa tahun 1980-an, gerakan mahasiswa era sekarang ini mulai menunjukkan perannya, karena mendapat peluang untuk melakukan aktivitas di Perguruan Tinggi dalam berbagai bentuk organisasi atau kelompok gerakan protes yang memiliki karakteristik yang berbeda. Kelompok pertama dari gerakan mahasiswa ini diusung oleh Badan Eksekutif Mahasiswa yang secara formal diakui keberadaan dan aktivitasnya oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Kelompok kedua dari gerakan mahasiswa adalah organisasi atau kelompok informal yang keberadaannya tidak diakui sebagai elemen kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa oleh Perguruan Tinggi, tetapi mendapat peluang untuk melakukan aktivitas. Kelompok informal ini membentuk sebuah kelompok gerakan dengan nama tertentu seperti Sentra Gerakan Mahasiswa, Kesatuan Aksi Mahasiswa, Aliansi Gerakan Mahasiswa, dsb. Kelompok ketiga dari kumpulan aktivis gerakan protes mahasiswa adalah mahasiswa yang bernaung di bawah organisasi yang relatif sudah stabil dan cukup banyak mewarnai kehidupan perpolitikan di era tahun 60-an atau tahun 70-an, yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), PMII, dan HMI. Kelompok gerakan mahasiswa inilah yang menjadi motor berbagai bentuk protes mahasiswa.
Ketiga kelompok tersebut apabila diklasifikasikan berdasarkan pandangan Guobin Yang (2002) dalam risetnya tentang Gerakan Mahasiswa di Beijing dalam kasus Tiananmen, yakni kelompok gerakan yang idealis, radikal dan oportunis. Gerakan mahasiswa yang bernaung di BEM dianggap sebagai kelompok idealis, kelompok radikal diwakili oleh kelompok informal, yang berada di Perguruan Tinggi namun tidak mendapat dukungan secara formal dari birokrasi Perguruan Tinggi tersebut, sedangkan gerakan mahasiswa yang dianungi oleh parpol atau golongan tertentu dianggap sebagai kelompok oportunis.
Sementara itu Widjojo dan Nurhasim (dalam Muluk dan Reksodipuro, 2005) membagi aktivis gerakan mahasiswa menjadi dua kelompok, yakni kelompok radikal dan moderat. Kelompok radikal memandang bahwa krisis yang terjadi di Indonesia akibat rezim Orde Baru yang otoriter dan korup, sehingga harus diganti sepenuhnya dengan pemerintahan yang baru. Mereka lebih menyukai aktivitas protes melalui cara bentrokan dengan aparat keamanan sebagai taktik politik untuk memperoleh simpati masyarakat pada mahasiswa dan menumbuhkan sikap anti militer, serta anti rezim Orde Baru. Sebagai contoh kelompok gerakan mahasiswa radikal adalah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Front Aksi Mahasiswa UI, dan Forum Kota (FORKOT). Sedangkan kelompok moderat memandang krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia sebagai hasil mismanagement dari para pelaku penguasa pemerintahan Orde Baru, namun sistem politik-ekonomi Orde Baru masih dianggap baik dan layak untuk diterapkan di Indonesia. Hal tersebut berarti mereka memandang bahwa hanya kemampuan dan moralitas elit politik era Orde Baru saja yang masih rendah. Mereka juga memiliki prinsip untuk menghindari bentrokan dengan aparat keamanan, kalaupun terjadi bentrok, maka hal itu dianggap musibah. Contoh dari kelompok gerakan mahasiswa yang seperti ini adalah Himpunan Mahasiswa Islam dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia.
Berdasarkan kajian teoritis, gerakan mahasiswa (student movement) merupakan salah satu bentuk dari gerakan sosial (social movement) yang lebih dikenal dengan istilah umum sebagai unjuk rasa atau demonstrasi mahasiswa. Bentuk gerakan sosial yang lain misalnya Labour Movement (gerakan buruh), Black Movement (gerakan kesetaraan orang kulit hitam), Gay Liberation Movement (gerakan kebebasan kaum gay), dan Feminist Movement (gerakan perjuangan persamaan hak wanita). Selain itu ada gerakan sosial dalam berbagai bentuk organisasi non pemerintah (ORNOP) atau LSM yang memiliki misi membela keadilan sosial dan kedaulatan rakyat untuk kepentingan globalisasi (Fakih dalam Wacana, 2002).
Secara teoritis dapat diulas bahwa gerakan sosial (social movement) merupakan salah satu bentuk dari perilaku kolektif (collective behaviour), selain mass suicides, mob violence, riots, crazes & panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, shighting & miracles (Locher, 2002). Hal tersebut berarti gerakan sosial merupakan aktivitas bersama yang dilakukan oleh beberapa individu (kolektif) sebagai respon terhadap sebuah kejadian tertentu yang menjadi problem di masyarakat.
Berbagai bentuk gerakan sosial tsb banyak bermunculan, karena setiap individu cenderung melakukan protes terhadap segala ketidakadilan yang terjadi pada dirinya maupun orang lain. Selain itu ada anggapan bahwa aktivitas protes yang dilakukan secara kolektif lebih menimbulkan perhatian daripada aktivitas protes yang dilakukan individu secara sendiri. Seseorang yang melakukan protes secara individual kemungkinan besar tidak segera mendapatkan respon dari kelompok yang dikritisi, sehingga akan mencari alternatif lain dengan melakukan protes secara berkelompok atau kolektif. Pada akhirnya sekumpulan individu yang memiliki persoalan yang sama cenderung berkumpul bersama dan mengungkapkan berbagai persoalan secara kolektif. Seperti yang diungkapkan Tajfel (dalam Virianita dkk, 2003) bahwa strategi kolektif akan digunakan bila seseorang percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengubah keadaan yang tidak menguntungkan adalah bergabung bersama-sama dalam sebuah kelompok. Hal tersebut karena pengungkapan keinginan secara bersama-sama semakin meningkatkan perhatian dan menimbulkan tekanan lebih besar dibandingkan pengungkapan secara individual.
Selanjutnya oleh Locher (2002) dikemukakan bahwa social movement agak berbeda dengan perilaku kolektif yang lain, karena memiliki karakteristik yang khas antara lain: relatif memiliki struktur organisasi tertentu (organized), dilakukan oleh beberapa individu dengan kesadaran dan kesengajaan (deliberate) dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama (enduring). Hal ini sangat berbeda dengan pengumpulan massa atau bentuk kerumunan yang lain, yang relatif tidak terorganisir, tidak adanya kesadaran untuk menjadi bagian dalam kerumunan, dan tidak berlangsung dalamjangka waktu lama. Sebagai contoh dari kerumunan (crowds) adalah sekumpulan orang yang melihat tontonan, kepanikan pengunjung bioskop saat kebakaran atau kepanikan saat bencana alam, kerumunan orang yang melihat kecelakaan, dan sekumpulan penonton konser musik.
Lebih jauh lagi bila dipilah satu persatu, banyak sekali jenis gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Semuanya bervariasi dari gerakan mahasiswa yang sifatnya demonstratif sampai pada perilaku anggotanya yang destruktif. Namun demikian gerakan sosial yang banyak terjadi tersebut mempunyai karakteristik tertentu yang tidak hanya sekedar berkumpul bersama seperti halnya kerumunan penonton pertunjukan, namun lebih terstruktur, mempunyai tujuan yang jelas, dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Seperti diungkapkan oleh Snow dan Oliver (dalam Cook et al, 1995), bahwa perbedaan mendasar antara crowd dan social movement adalah dalam social movement tercakup pengorganisasian suatu gerakan secara lebih kontinu untuk mencapai suatu perubahan tertentu pada suatu kelompok atau masyarakat. Sementara itu crowd terjadi pada sekumpulan orang yang tidak saling mengenal, tidak diikat oleh satu tujuan tertentu, serta waktunya relatif terbatas dalam memberi perhatian pada suatu hal tertentu.
Hal tersebut sesuai pendapat Sarwono (2003), bahwa aksi mahasiswa bukanlah aksi massa, seperti yang dilakukan oleh bonek dalam sepak bola, kerusuhan rasial, tawuran antar pelajar atau tawuran antar kampung. Reaksi mahasiswa lebih spontan terhadap berbagai krisis yang melanda negeri ini dan memiliki tuntutan yang jelas, urut dan logis, serta memiliki bentuk organisasi tertentu.
Sebagai gambaran tentang proses pembentukan Kelompok Gerakan Mahasiswa dapat dijelaskan dari hasil penelitian dari Yumpi (1996) tentang pembentukan Forum Mahasiswa Jombang yang getol berdemonstrasi pada tahun 1995, sebagai berikut :
1. Pada tahap pertama pembentukan kelompok gerakan, beberapa mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap seni dan budaya mulai merasakan adanya tekanan struktur atau kondisi sosial yang tidak memuaskan atau menekan, seperti : isu moral, kesewenangan, dan ketidakadilan, utamanya yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Berbagai persoalan yang dianggap penting dan mendesak tersebut apabila tidak segera tertangani akan mengarah pada penggumpalan isu yang menjadi semakin kental dan populer bagi aktivis mahasiswa yang lain.
2. Tahap kedua, mulai berkembang jaringan komunikasi antar aktivis kelompok gerakan mahasiswa yang tersebar di berbagai kota. Pada saat itu antara aktivis kelompok gerakan mahasiswa yang satu dengan aktivis lain terjadi saling mengenal dan berbagi perasaan. Apabila kondisi yang tidak menyenangkan tidak segera terselesaikan, akan mengarahkan identifikasi pada kelompok gerakan yang meningkat secara cepat. Pada saat seperti itu, pemimpin gerakan memiliki peran yang besar sebagai pemicu situasi dan meningkatkan jumlah pengikut gerakan sosial. Kemudian aktivis gerakan mahasiswa dari berbagai universitas atau perguruan tinggi saling bertandang untuk mencapai suatu kesepakatan isu yang nantinya akan ditarik ke permukaan masyarakat. Urgensi pemilihan isu menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menjaga kesamaan visi gerakan. Kadangkala pada saat itu di antara aktivis gerakan mahasiswa terjadi diskusi yang panjang dan panas, karena adanya perbedaan isu yang akan dijadikan sebagai pusat konsentrasi arah gerakan.
3. Tahap terakhir, pada tahap ini aktivis mahasiswa mulai mengarah pada pembentukan organisasi yang eksis dan formal, namun belum berhasil dengan baik. Hal tersebut karena pola gerakan belum menampakkan perilaku yang terstruktur dari para aktivisnya, apalagi bila muncul berbagai perbedaan pandangan yang tidak terselesaikan dari kelompok-kelompok tersebut. Pada periode ini ada kemungkinan terjadi penonjolan aspirasi dan popularitas institusi gerakan. Namun demikian apabila ada konsensus bersama antar elemen gerakan akan mengarahkan pada sinergi gerakan dan mobilisasi aksi yang lebih besar. Pada tahap ini dukungan media massa pada popularisasi gerakan menjadi kunci utama dari kesuksesan sebuah gerakan mahasiswa.
Berbagai uraian di atas tentang tahap-tahap pembentukan suatu gerakan mahasiswa, nampak sekali berbeda dengan perilaku kolektif lain yang relatif tidak ada kontinuitas dan tidak terorganisir. Namun demikian belum dapat dikatakan bahwa gerakan sosial sebagai sebuah bentuk kelompok yang sempurna. Gerakan mahasiswa sebagai bentuk gerakan sosial selalu muncul dengan bentuk organisasi tertentu, baik dari tingkatan yang paling sederhana sampai dengan suatu bentuk organisasi yang kompleks. Aktivitas merekapun didasari oleh berbagai alasan dan strategi yang dibuat untuk mencapai sebuah tujuan tertentu yang dianggap realistis. Hal tersebut karena gerakan mahasiswa relatif memiliki usia yang pendek untuk beraktivitas, yakni semasa mereka mengikuti kuliah dalam waktu 3 sampai dengan 4 tahun. Selain itu tuntutan sistem pendidikan yang menggunakan sistem kredit semester (SKS) dan batasan jangka waktu kuliah yang menyebabkan drop-out membuat mahasiswa lebih sulit berkiprah dalam sebuah gerakan pada jangka waktu yang lama. Namun demikian dalam catatan sejarah, gerakan mahasiswa tidak pernah padam sama sekali, selalu beraktivitas dalam bentuk yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi sosial politik sebuah negara.
Berdasarkan latar belakang sejarah masa lalu, gerakan protes mahasiswa atau demonstrasi mahasiswa di Indonesia amat populer pada saat peristiwa keruntuhan era Pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1965 - 1966 dan pudarnya era Pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1998. Berbagai peristiwa besar tersebut bermula dari pusat ibukota pemerintahan (Jakarta) yang kemudian merebak hampir di seluruh pelosok kota di tanah air. Pada saat terjadinya perubahan era orde lama ke orde baru dan orde baru ke orde reformasi, maka mahasiswa dianggap menjadi mortir penentu perubahan politik.
Bahkan Hariman Siregar (2003) menekankan bahwa gerakan mahasiswa merupakan pilar kelima dari demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers sebagai penyuplai informasi. Oleh karena itu tidaklah heran apabila Raillon (1989) menuliskan bahwa unjuk rasa mahasiswa pada saat tahun 1965-1966 inilah yang mendukung keberhasilan menegakkan Pancasila dan menghancurkan PKI. Begitu pula saat memuncaknya suhu politik tahun 1998 yang dipicu oleh tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti membuat berbagai elemen mahasiswa yang bernaung di bawah bendera Organisasi Mahasiswa di berbagai Universitas dan kelompok gerakan mahasiswa lainnya melakukan unjuk rasa akbar di Gedung DPR/ MPR RI, Senayan, Jakarta. Pemusatan kelompok mahasiswa yang begitu besar dan munculnya berbagai bentuk gerakan mahasiswa di seantero tanah air itulah yang menyebabkan runtuhnya kejayaan era pemerintahan orde baru.
Sejarah Indonesia juga mencatat bahwa kekuatan kaum muda yang notabene terwakili oleh mahasiswa merupakan kekuatan politik yang potensial dan memiliki bargaining power yang sulit tertandingi. Dimulai dari gerakan yang dilakukan oleh Dr. Soetomo dkk pada tanggal 20 Mei 1908 yang dikenal sebagai hari Kebangkitan Nasional; munculnya gerakan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri, seperti Soekarno dan Syahrir (yang nantinya menjadi para pemimpin atau bapak bangsa); munculnya Sumpah Pemuda tahun 1928 dari berbagai elemen kepemudaan dari seantero Nusantara; begitu pula aksi dari kelompok pemuda yang memicu munculnya peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Lebih jelas lagi, John Ingelson (dalam Aribowo, 1992), menambahkan bahwa sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda mendirikan Perhimpunan Indonesia untuk mengobarkan semangat dan konsepsi nasionalisme, khususnya tentang perspektif bangsa Indonesia di masa mendatang. Kelompok pemuda / mahasiswa tersebut saat itu mampu menjadi kekuatan politik yang cukup diperhitungkan pemerintah kolonialisme di Hindia Belanda (Indonesia) dan negara Belanda. Peran pemuda untuk memunculkan perubahan di negara ini berlanjut sampai dengan era revolusi kemerdekaan. Seperti ungkapan George Mc T. Kahin (dalam Aribowo, 1992) bahwa ada peran pemuda dan mahasiswa yang sangat besar dalam menjalankan dan mengatur revolusi di tahun 1945 sampai dengan 1949. Organisasi mahasiswa pertama yang muncul pada dekade tersebut adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang didirikan oleh pemimpin bangsa dan tokoh Islam saat itu (Denny,2006). HMI menyatakan sebagai organisasi bersifat independen dari Partai Islam dan organisasi keagamaan besar Islam, seperti NU dan Muhamadiyah, serta menetapkan untuk tidak beraliran politik, tapi bersifat intelektual. Namun demikian banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa anggota dan alumni dari HMI yang melibatkan diri dalam proses politik, baik yang masuk di dalam birokrasi pemerintahan ataupun menjadi oposisi dalam pemerintahan.
Peristiwa politik lain yang terkait dengan aktivitas kolektif dari mahasiswa dimulai pada Pemilu tahun 1955, yakni saat partai-partai politik meningkatkan kegiatan di kalangan mahasiswa untuk memperoleh dukungan suara. Infiltrasi dari berbagai partai politik untuk mencari dukungan suara dari mahasiswa ini menimbulkan permasalahan baru di lingkungan Perguruan Tinggi, karena konstelasi perpolitikan nasional dan daerah mulai mempengaruhi kehidupan kampus yang sebelumnya netral dari poros politik tertentu. Hal tersebut karena banyak mahasiswa sudah mulai tertarik untuk melakukan aktivitas politik praktis. Akhirnya banyak bermunculan organisasi mahasiswa yang berafiliasi pada partai politik tertentu.
Berbagai bukti dari adanya afiliasi politik pada mahasiswa mulai nampak sekali pada tahun 1965, yakni dengan adanya berbagai organisasi mahasiswa yang bernuansakan politik seperti GMNI (pada PNI), CGMI (pada PKI), PMII (pada NU), SEMMI (pada PSII), dan MMI (pada Masyumi sebelum dibubarkan), yang selalu aktif dalam kegiatan partai politik seperti perayaan ulang tahun, pawai dan rapat umum yang disponsori oleh partai politik (Sanit, 1982).
Hal ini sesuai dengan pandangan Denny (2006) bahwa berdirinya HMI mengarahkan pada terbentuknya organisasi mahasiswa ekstra universitas yang menggunakan pola ideologis tertentu, misalnya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang menggunakan paham nasionalis; Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia yang berhaluan komunis; Perkumpulan Mahasiswa Muslimin Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia yang berpaham agama; serta Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMSOS) yang beraliran sosialis. Ada pula organisasi mahasiswa yang dibentuk oleh kalangan ABRI antara lain Gerakan Mahasiswa Pancasila (MAPANCAS) dan Gerakan Mahasiswa KOSGORO. Selain itu ada pula gerakan mahasiswa yang bercorak lokal, seperti Gerakan Mahasiswa Bandung, Gerakan mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Mahasiswa Jakarta.
Selanjutnya menurut Denny (2006) gerakan mahasiswa ekstra universitas itulah yang berhasil membentuk organisasi federasi untuk melakukan komunikasi dan kerjasama dengan nama Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Kelompok ini yang melakukan aktivitas perjuangan melawan Belanda dan berhasil menyelenggarakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika untuk menentang imperialisme dan kolonialisme. Bahkan pada tahun 1965 para aktivis mahasiswa berhasil menggalang kekuatan organisasi intra dan ekstra kampus dalam bentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang bertujuan untuk menumbangkan Orde Lama.
Gerakan mahasiswa tidak kemudian berhenti dan mati setelah runtuhnya era orde lama tahun 1965, walaupun banyak pula tokoh angkatan 66 yang kemudian berperan dalam kancah politik praktis, sehingga masuk pada lingkaran kekuasaan dan akhirnya menjadi anggota legislatif atau eksekutif. Namun demikian masih ada beberapa kelompok mahasiswa yang tidak puas dengan perubahan yang dilakukan pada awal era orde baru, sehingga muncul kasus Golput yang dipelopori Arief Budiman dan kasus Malari yang menimbulkan dampak terjadinya gejolak sosial politik yang besar bagi Indonesia pada tahun 1974. Hal ini berlanjut dengan penangkapan para penggerak demonstrasi dan harus menjalani hukuman sebagai tahanan politik.
Kondisi yang penuh tekanan seperti ini ternyata tidak menimbulkan mandeknya berbagai aktivitas gerakan mahasiswa. Padahal pada saat itu pemerintah mulai menerapkan aturan NKK BKK di seluruh Perguruan Tinggi Indonesia, yang dianggap memandulkan kegiatan politik praktis mahasiswa. Apalagi Dewan Mahasiswa yang dianggap memiliki kekuatan politik untuk memunculkan student government, dan lahan belajar mahasiswa untuk terlibat aktif dalam mengkritisi kebijakan kampus dan pemerintah, diharuskan menerima kebijakan represif saat itu.
Setelah diberlakukannya NKK BKK yang dianggap membelenggu aktivitas politik praktis mahasiswa, memang ada beberapa mahasiswa merubah strategi kekritisan mereka dengan cara melakukan aktivitas selain aksi turun ke jalan sebagai langkah untuk mencermati dan menyelesaikan berbagai problem sosial. Mereka menuangkan ide kritis dengan cara mendirikan kelompok pers kampus. Melalui majalah / pers kampus inilah mahasiswa menuangkan ide dan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang menyengsarakan dan menimbulkan ketidakadilan pada masyarakat kecil. Selain itu mereka mendirikan kelompok studi mahasiswa seperti yang terjadi di tiga kota besar, yakni Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kelompok studi bermunculan dengan berbagai alasan yakni : mereka tidak bisa lagi berpolitik praktis dan mengarah pada kegiatan teoritis, karena situasi yang tidak kondusif untuk berkegiatan politik praktis; ruang gerak mahasiswa tidak lagi berbasis di kampus, karena kampus telah berubah menjadi birokrasi yang menekan kegiatan politik praktis mahasiswa; serta mahasiswa tidak lagi berkonsentrasi pada gugatan politik praktis kepada struktur kekuasaan, lebih berkonsentrasi pada penyadaran subjektif pada kelas menengah melalui aksi komunikasi informasi (Denny, 2006).
Selanjutnya pada awal tahun 1990an, saat banyak didengungkan kebebasan dan globalisasi di dunia ini, utamanya oleh Michael Gorbachev dengan semboyan Glastnost dan Prestroika, mulai muncul keberanian mahasiswa untuk melakukan advokasi dan mobilisasi aksi pada persoalan ketidakadilan. Sebagai contoh, mahasiswa berperan besar dalam kasus-kasus terkenal, seperti kasus unjuk rasa sebagai protes terhadap kematian menghebohkan seorang karyawati / buruh yang bernama Marsinah, protes terhadap dibangunnya waduk Kedung Ombo, demonstrasi terhadap kasus penghinaan agama oleh Arswendo dan Permadi, unjuk rasa kehadiran Presiden di Dresden, unjuk rasa akan dibangunnya instalasi Nuklir, unjuk rasa terhadap pelecehan prosesi ritual umat Katolik di Gereja Santo Yosef di Kecamatan Nita, Maumere, Flores, dan berbagai demo pada tindakan militerisme.
Peristiwa yang dianggap klimaks dari gerakan mahasiswa adalah berkumpulnya berbagai elemen mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia dengan cara “menduduki” gedung MPR/ DPR pada bulan Mei 1998, yang menghasilkan turunnya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan. Peristiwa tsb dianggap bisa disejajarkan dengan kesuksesan untuk menurunkan Presiden Sukarno tahun 1965. Perbedaannya adalah saat tahun 1965 ada kolaborasi dan bantuan dari pihak militer, utamanya Angkatan Darat, namun pada tahun 1998, gerakan mahasiswa murni dari keterlibatan militer dalam aksinya (Hamka, 2000). Hal tersebut juga terungkap dari penelitian Mun’im (Miftahuddin, 2004) bahwa gerakan mahasiswa angkatan 1966 sebenarnya gerakan moral yang dipolitisir. Awal mula gerakan mahasiswa ini bertujuan untuk melakukan protes atas terjadinya Gerakan Kontra Revolusi dan Gestapu yang berbentuk protes secara sporadis dan tidak terorganisir, namun atas saran Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) saat itu, para mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1965.
Bagaimanapun juga tidak dapat disangsikan bahwa mahasiswa mempunyai peran yang vital sebagai agent of change, agent of modernization, dan agent of development dalam segenap bidang kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya (Darmawan dalam Nasri, 1993). Sebuah survey yang dilakukan di Yogyakarta terhadap 200 mahasiswa sekitar bulan Mei 2004 menemukan bahwa sekitar 70 % mahasiswa masih yakin bahwa mereka adalah kekuatan akan perubahan (agent of change). Lebih jauh lagi mahasiswa menjadi tulang punggung dalam memberi warna kehidupan politik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu ada keterkaitan yang erat antara gerakan mahasiswa dengan stabilitas atau instabilitas nasional. Semakin banyak gerakan protes mahasiswa yang dilakukan di sebuah Negara akan mengakibatkan rentannya stabilitas nasional, seperti yang terjadi di Thailand dan Filipina. Padahal stabilitas nasional seringkali dijadikan tolok ukur kepercayaan dunia Internasional pada sebuah Negara, termasuk Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Muluk dan Reksodiputro (2005) bahwa aktivis mahasiswa adalah kelompok intelektual yang aktif di bidang politik. Memang mereka bukan tergolong dalam profesional politik yang dapat menentukan kebijakan pemerintah secara langsung, namun aktivis politik mereka seringkali memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap situasi negara. Bahkan partisipasi politik mahasiswa dalam demonstrasi besar-besaran mampu menurunkan kediktatoran Marcos di Filipina, dan munculnya revolusi sosial pada sebagian besar negara, seperti Revolusi Iran.
Melihat berbagai hal yang diperjuangkan mahasiswa saat ini, nampak sekali bahwa telah terjadi perubahan jalur gerakan mahasiswa yang tidak hanya mengkritisi persoalan sosial namun berkaitan erat pula dengan masalah politik. Ada beberapa bentuk aktivitas gerakan mahasiswa yang mengkritisi berbagai problem ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di masyarakat, antara lain:
1. Tuntutan pemberian ganti rugi bagi tanah rakyat yang tergusur proyek pemerintah; seperti waduk Kedung Ombo, Waduk Nipah, Jalan Tol, Bandara, Jalan Raya, Tempat Pembuangan Sampah, Pasar Rakyat.
2. Kritik terhadap kebijakan yang terkait dengan masalah pendidikan, seperti komersialisasi pendidikan, pendidikan biaya tinggi, keinginan untuk berperan-serta dalam pembuatan kebijakan pendidikan, dan protes terhadap pemasungan peran mahasiswa dalam bidang politik.
3. Ketimpangan dan kelambanan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam penanganan kasus separatisme dan kerusuhan etnis di Aceh, Papua, Ambon, Poso, dan Sampit.
4. Mengkritisi penyalahgunaan kekuasaan militer / militerisme, utamanya yang terkait dengan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh TNI / Polri, otoritas militer dalam penanganan kebijakan pemerintah, pelanggaran HAM dalam penanganan aksi massa, serta meningkatnya peran militer dalam kancah bisnis.
5. Kritik terhadap berbagai model pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta tanpa memperhatikan dampak sosial pada masyarakat sekitar; seperti hotel, panti pijat, pub, perumahan, agrowisata, dan lapangan golf.
6. Tuntutan terpenuhinya hak-hak buruh; seperti peningkatan upah minimun, PHK, pemogokan karyawan, dan kasus Marsinah.
7. Penghapusan legalisasi perjudian, minuman keras serta Narkoba, sekaligus penanganan hukum yang dianggap tidak tuntas dan tidak memenuhi standar keadilan masyarakat
8. Protes terhadap berbagai produk hukum yang berkaitan dengan kebijakan terhadap kesejahteraan masyarakat, seperti: Undang Undang Anti Subversi, Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Undang Undang yang mengatur unjuk rasa, Undang Undang Sisdiknas, Undang Undang Partai Politik, Undang Undang Ketenaga-kerjaan, Undang Undang Pemilu, dan Rancangan Undang Undang Anti Pornografi & Pornoaksi.
9. Kritik terhadap kebijakan pemerintah yang condong pada kepentingan pengusaha dalam hal pencemaran lingkungan; sungai, hutan, illegal logging, dan tiadanya pengolahan limbah pabrik pada sebagian besar perusahaan.
10. Kritik terhadap persoalan yang terkait dengan hubungan internasional akibat ketidakmampuan untuk lepas dari pengaruh negara adi daya (Amerika), seperti protes anti Amerika, protes terhadap kekerasan TKI yang dilakukan pemerintah Malaysia, Terorisme Internasional, Anti Israel, dan pelaksanaan HAM internasional
Berbagai persoalan yang memunculkan protes mahasiswa tersebut di atas sesuai dengan pandangan Coleman & Kerbo (2003), bahwa salah satu tekanan yang penting untuk mempengaruhi perubahan opini publik sebagai solusi terhadap berbagai problem sosial yang terjadi di masyarakat luas adalah melalui gerakan sosial (social movement), yakni sekelompok individu yang bergerak bersama untuk memunculkan penyelesaian berbagai penyebab problem sosial. Disebutkan pula oleh Coleman & Kerbo (2003), bahwa gerakan sosial memunculkan kesadaran publik tentang problem sosial dan menekan negara untuk membuat langkah aksi untuk menuntaskannya. Kesadaran publik itu yang bisa berbentuk berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa di Perguruan Tinggi.
Namun demikian seperti diungkapkan pada uraian sebelumnya bahwa bila diamati lebih dalam ternyata gerakan mahasiswa banyak pula dibawa pada kepentingan yang bermuatan politik. Apalagi kalau dikaitkan dengan faktor kesejarahan munculnya kelompok gerakan mahasiswa tersebut, banyak di antaranya yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Hal itu didasari oleh pandangan bahwa selama ini pembangunan ekonomi dilakukan di atas kontrol politik yang ketat, sehingga membuat hak-hak politik masyarakat banyak yang ditindas (Pijar, 1996). Kondisi ini juga muncul pada saat menjelang Pemilu 2004 sekarang ini, berbagai partai politik dengan atribut ideologi tertentu meningkatkan antusiasme gerakan mahasiswa untuk condong pada parpol yang dianggap se-ideologi atau memiliki plat form yang sama. Keberpihakan gerakan mahasiswa semakin nampak pada saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut terlihat dari adanya gerakan mahasiswa yang seakan-akan mengutuk militerisme, namun sebenarnya di balik itu mereka ingin memunculkan atau mendukung pada tokoh dari pemimpin sipil yang diusung partai politik tertentu.
Hal yang nampak jelas sekali pada gerakan sosial adalah adanya berbagai faktor penyebab yang mengarahkan mahasiswa untuk berpartisipasi atau berperan serta dalam aktivitas tersebut. Salah satu faktor penyebab mahasiswa untuk masuk dalam gerakan sosial antara lain adalah adanya keinginan untuk mengadakan perubahan atau koreksi terhadap berbagai hal yang ada dalam kehidupan sosial mereka (Snow&Oliver dalam Cook et al, 1995; Lindzey & Aronson, 1975; Orum dan Stalling dalam Allen et al, 1980).
Sebagaimana diketahui, mahasiswa adalah individu yang tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas (Darmawan dalan Nasri, 1993). Jadi sebenarnya gerakan mahasiswa cenderung bermuara dari idealisme subjektif mahasiswa akan kondisi lingkungan sosial. Sementara itu universitas sebagai lingkungan dasar, tidak memberi kepuasan bagi aktualisasi diri mereka, seperti kurang terbukanya birokrasi Universitas terhadap suatu kritik. Bahkan banyak pula Perguruan Tinggi yang menerapkan berbagai aturan yang mempersulit kelompok gerakan mahasiswa ini untuk dapat beraktivitas. Selain itu ada anggapan bahwa kelompok gerakan mahasiswa ini hanyalah sumber keonaran dan meningkatkan instabilitas di perguruan tinggi.
Kondisi tersebut di atas akan memompa frustrasi mahasiswa (Ancok dalam Putu, 1996). Rasa frustrasi tersebut muncul karena adanya perbedaan orientasi antara Perguruan Tinggi dan Mahasiswa. Mahasiswa diarahkan pada orientasi yang melupakan kepekaan pada persoalan yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan diberlakukannya NKK / BKK dan Pedoman Etik Mahasiswa (Balairung, 1995), yang inti isinya adalah mahasiswa tidak diijinkan untuk berpartisipasi dalam suatu demonstrasi, atau aksi kegiatan yang sangat mengganggu pelaksanaan fungsi dan tugas Universitas. Peraturan ini walaupun menimbulkan pro dan kontra, tetap diberlakukan di ITB, UI dan menyusul UGM pada saat itu.
Tidak lagi diberlakukannya NKK BKK pada era reformasi ini, bukan berarti mahasiswa bebas bergerak untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan sosial. Sistem Kredit Semester membuat mahasiswa tercerabut dari perhatian pada persoalan yang terjadi pada masyarakat yang tertindas serta lebih mengedepankan masalah kuliah dan pencapaian nilai Indeks Prestasi. Hal tersebut ditambah lagi dengan biaya pendidikan yang tinggi dan sumbangan lainnya di berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta yang membuat setiap orang berfikir ulang untuk menjadi mahasiswa. Dampak lain yang terkait dengan minimnya partisipasi mahasiswa dalam gerakan untuk mengkritisi kondisi sosial tersebut adalah meningkatnya keinginan mahasiswa untuk segera lulus dari perguruan tinggi dengan biaya mahal, karena semakin meningkatnya tekanan ekonomi dari orang tua.
Kondisi demikian ditambah dengan adanya berbagai ketimpangan yang terjadi pada masyarakat seperti: ketidakadilan, penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, administrasi negara yang kacau, dan kondisi politik yang tidak jelas, akan meningkatkan keinginan mereka untuk menghilangkan rasa frustrasi. Akhirnya aksi protes atau unjuk rasa menjadi salah satu usaha yang dianggap efektif untuk memperbaiki lingkungan sosial. Mereka menginginkan kondisi yang ideal namun sulit mendapatkan dengan jalur resmi, padahal mereka merasa bertanggung jawab. Oleh karena itu munculah keinginan untuk mendobrak kondisi yang penuh ketimpangan melalui berbagai protes atau demonstrasi (Putu, 1996).
Lebih jauh lagi, partisipasi dalam gerakan mahasiswa tersebut ada pula yang didasarkan oleh keinginan aktualisasi diri. Dorongan tersebut membuat mereka mempunyai dedikasi dan komitmen yang tinggi terhadap aktivitas yang dilakukan (Maslow dalam Schultz, 1991). Jadi mereka tidak sekedar melakukan aktivitas protes untuk mendapatkan uang, popularitas atau kekuasaan, namun cenderung pada keinginan untuk memuaskan kebutuhan psikologis, yakni mengarahkan pada tantangan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Jadi dorongan untuk berpartisipasi dalam kegiatan unjuk rasa cenderung disebabkan oleh adanya ketimpangan sosial-ekonomi-politik pada lingkungan sosial dan idealisme serta keinginan menuntaskan rasa frustasi akan buruknya kondisi sosial, sehingga mereka tertantang untuk memberikan solusi pada ketimpangan dan ketidakadilan yang ada di masyarakat.
Lebih jauh akan diungkapkan berbagai hasil riset dan teori tentang faktor penyebab melakukan gerakan sosial dari berbagai elemen masyarakat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4
Penelitian dan Teori Faktor Penyebab Partisipasi Politik/Gerakan Sosial
No Faktor Penyebab Partisipasi Politik / Gerakan Sosial Ahli / Tokoh
1 Atomization/ alienation Kornhauser (1959) dalam teori Mass Society
2 Relative Deprivation (legitimate expecta-tions) :
-the raising of expectations within a society
-the reduction of opportunities in a society Denton Morison (1971) dalam relative deprivation theory
3 Physical power, political power, Social support Anthony Oberschall (1973) dalam resource mobili-zation theory
4 -Organizational strength
-Cognitive liberation
-Political opportunity Douglass Mc Adam (1982) dalam Political Process Theory
5 Positive image of social movement Greenberg (1994)
6 Deprivasi relatif Gurr (1970), Runciman (1966), Walker & Pettigrew (1984)
7 Value-added logic Smelser (1971)
8 Irrational belief Olson (1968)
9 Political trust,Political efficacy, Subgroup identification,Unstructured work routine, Self esteem, Subjective dissatisfaction Orum (Allen et al, 1980)
10 Poverty, Segregation, Violence Rhoda Lois Blumberg dalam kajian tentang The Civil Right Movement
11 Female discontent (right, communication) Jo Freeman dalam kajian tentang The Womens Movement
12 The Perceptions Political opportunities & Charismatic leaders Charles Kurzman dalam tulisan tentang The Iranian Revolution
13 Insecure and dogmatic Adorno (1950), Hoffer (1951)
14 Internal Political Efficacy Holli Setmenko & Patti M Valkenburg (1998)
15 Egoistic & Fraternal Relative Deprivation Abeles (1976), Appelgryn & Nieuwoudt (1988), Guimond & Dube-Simard (1983), Tripathi & Srivastava (1981), Walker & Mann (1987)
16 Cognitive & Afective Group Relative Deprivation Cheryl de la Rey & Patricia Raju (1996)
17 Political Efficacy -Eric Stewart & Rhona S Weinstein (1997)
Shingles(1981)&Guterbock&London(1983)
18 Internal & External Political Efficacy Albert Bandura (1973)
19 Race, Income, Occupational, worker’s network Marc Dixon & Vincent J. Roscigno (2003)
20 Relative Deprivation & Threats to Social Identity Peter R Grant & Rupert Brown (1995)
21 Egoistic & Collective Relative Deprivation Crosby (1976)
22 Social Identity Tajfel (1978) ; Tajfel & Turner (1979)
23 Internal Political Efficacy Michael E Morrell (2003)
24 Consciousness-raising, Collective Empo-werment, Polarization & Group Decision Making Eric L. Hirsch (1990)
25 political interest, political self efficacy, applied political knowledge, current political events knowledge, media use dan political basic knowledge Catellani (dalam Semin & Fiedler, 1996)
26 Interpersonal trust, membership in voluntary association & norms of reprocity JE Sullivan & JE Transue (1999)
27 Simpati terhadap gerakan, menjadi target mobilisasi, motivasi untuk berpartisipasi, keuntungan kolektif (penilaian tujuan aksi dan harapan tercapainya tujuan aksi), insentif selektif (sosial dan non sosial), dan komitmen pada gerakan (afektif, berkelanjutan dan normatif). Bert Klandermans (2005)
28 Sense of discontent, communication of discontent, social attribution of discontent, probability of resolution of discontent dan resource mobilization. DiRenzo (1990)
29 Expansion of social movement organization or organizational density Debra C Minkoff (1997)
30 Political ideology, availability cost, community norms Muller & Jukam (1977)
31 Socialization, ideological & Dissatisfaction Aie-Rie Lee (1997)
32 Potentials, Networks, Motivations & Barriers Bert Klandermans & Dirk Oegema (1987)
33 A State in retreat & the revival of society; the existence of an elite intellectual group dominated by the ethos of idealism, opportunism & radicalism; an expanding yet discontented university student population; the decline of political control in universities; the diminishing of social buffers Guobin Yang (2002)
34 Collective identification Stefan Sturmer & Bernd Simon (2004)
35 Escape the dominant culture, changing the dominant culture, resisting a change in the dominant culture or countermovements
Wiggins dkk (1994)
36 Actual expectation, rising expectation, relative satisfaction Davies dalam Michener & Delamater (1999)
37 Resource mobilization Zald & McCarthy dalam Wiggins & Zanden (1994)
38 Parental socialization Whalen & Flacks ; Braungart& Braungart dalam Wiggins & Zanden (1994)
39 Moral Issues & Ideological Commitment James Jasper & Dorothy Nelkin (dalam Henslin, 2005)
40 Agent Provocateur Gary Marx (dalam Henslin, 2005)
Konsep dari para ahli di atas tersebut memang didasarkan pada berbagai protes yang dilakukan di lingkungan negara maju yang tentunya amat berbeda pada saat diaplikasikan di negara berkembang. Seperti pandangan SL Halleck (dalam Sarwono, 1978), yang menyatakan bahwa agresivitas mahasiswa di negara maju disebabkan oleh tekanan yang ditimbulkan oleh sistem politik yang ketat, sehingga inisiatif pribadi tidak mendapat tempat lagi di masyarakat. Sementara itu E.Shills dan G. Blaine (dalam Sarwono, 1978) menyatakan bahwa kemakmuran yang terjadi di negara maju setelah Perang Dunia II menyebabkan mahasiswa tidak memiliki peluang untuk menunjukkan prestasinya, karena segala sesuatu sudah ada di masyarakat. Pada akhirnya mereka melakukan aksi protes sebagai cetusan akan rasa bosan. Di sisi lain, menurut Altbach (dalam Sarwono, 1978), mahasiswa di negara berkembang adalah calon elit politik dan dianggap memiliki pendidikan yang lebih baik di masyarakat, sehingga mereka dituntut untuk lebih peka dan kritis terhadap berbagai masalah sosial yang terjadi di lingkungannya. Jadi nampak sekali bahwa ada perbedaan mendasar perilaku seseorang yang melakukan demonstrasi atau berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa di negara Barat dan Timur, termasuk Indonesia.
Lebih jauh lagi dalam tinjauan psikologi lintas budaya, menurut Hofstede (1991) ada empat dimensi nilai yang terkait dengan kultur, yakni power distance, individualism / collectivism, masculinity / feminity, serta uncertainty/ avoidance. Berdasarkan riset yang dilakukan di berbagai negara diketemukan bahwa sebagian besar negara di benua Amerika dan Eropa cenderung memiliki nilai individualisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di negara Benua Asia (termasuk Indonesia) dan negara di wilayah Amerika Selatan yang cenderung menggunakan nilai collectivism. Hasil penelitian ini apabila dikaitkan dengan maraknya demonstrasi di negara yang berkembang, karena adanya keinginan untuk melakukan protes secara kolektif, seperti yang terjadi di negara lain seperti Asia dan Amerika Selatan. Hal tersebut didasari oleh anggapan bahwa perilaku kolektif untuk mendapatkan perubahan secara bersama-sama lebih mudah mendapatkan tanggapan dibandingkan dengan protes secara individual.
Perbedaan situasi dan kondisi antara negara maju dan sedang berkembang itulah yang dianggap bisa memunculkan perbedaan hasil penerapan teori dari Barat saat dilakukan penelitian di Indonesia. Salah satunya penelitian dari Matulessy (1997), yang menemukan hasil yang berbeda dengan konsep dari Orum tentang partisipasi dalam gerakan sosial pada saat dilakukan penelitian pada gerakan mahasiswa di Indonesia, antara lain : tidak ada korelasi antara kepercayaan terhadap sistem politik (political trust) dengan partisipasi dalam gerakan, tidak ada korelasi antara kemampuan berperan dalam sistem politik (political efficacy) dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa, serta tidak ada korelasi yang signifikan antara identifikasi dengan kelompok yang melakukan gerakan dengan kepercayaan pada sistem politik.
Apalagi tipikal gerakan mahasiswa yang kemunculannya sangat tergantung pada situasi kondisi nasional, sehingga akan berpengaruh pada model teoritis yang berbeda tentang keterkaitan berbagai variabel yang mempengaruhi partisipasi dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Hal ini sesuai pula dengan penelitian Matulessy dan Dwiyogo (2005) yang menemukan bahwa banyak konsep atau hipotesis dari teori atau model Orum yang tidak terbukti pada penelitian yang dilakukan pada aktivis gerakan mahasiswa di Jawa Timur.
Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi model dari berbagai teori dan temuan penelitian dengan mengkaitkan teori-teori gerakan sosial dari tokoh atau ahli yang lain serta hasil riset dari para peneliti yang lain. Sebagai contoh Lofland (2003) yang menyatakan bahwa gerakan sosial muncul akibat adanya marjinalisasi pada kaum muda utamanya mengenyampingkan peran mereka dalam kehidupan politik, sehingga muncul gerakan mahasiswa yang sifatnya moderat sampai dengan pola yang militan revolusioner. Bert Klandermans (2005) menyebutkan beberapa faktor yang menentukan partisipasi individu dalam sebuah gerakan sosial, yakni simpati terhadap gerakan, menjadi target mobilisasi, motivasi untuk berpartisipasi, keuntungan kolektif (penilaian tujuan aksi dan harapan tercapainya tujuan aksi), insentif selektif (sosial dan non sosial), dan komitmen pada gerakan (afektif, berkelanjutan dan normatif). Catellani (dalam Semin & Fiedler, 1996) membuat sebuah model teori bahwa aktivitas politik, mencakup support activities, organizational activity (bergabung dalam demonstrasi) dan official activity, dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain : political interest, political self efficacy, applied political knowledge, current political events knowledge, media use dan political basic knowledge. Muluk dan Reksodiputro (2005) menemukan bahwa ada beberapa prediktor yang membedakan aktivis mahasiswa radikal dan moderat, yakni orientasi politik (yang terdiri dari: toleransi politik, komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, efikasi politik) dan partisipasi politik. Virianita dkk (2003) menemukan bahwa partisipasi dalam aksi unjuk rasa buruh dipengaruhi oleh identifikasi kolektif dan keyakinan subjektif terhadap permeabilitas kelompok. DiRenzo (1990) mengungkapkan kondisi yang mempengaruhi munculnya gerakan sosial adalah sense of discontent, communication of discontent, social attribution of discontent, probability of resolution of discontent dan resource mobilization.
Selanjutnya Erich Fromm (dalam DiRenzo, 1990) menekankan bahwa seseorang tertarik dalam sebuah gerakan sosial karena kebutuhan akan figur otoritas untuk memberitahukan nilai-nilai, sesuatu yang harus diyakini dan apa yang dipikirkan. Riset Lichter dan Rothman (dalam DiRenzo, 1990) pada tahun 1982 dengan cara melakukan tes proyektif pada sebagian besar mahasiswa di Amerika menemukan bahwa aktivis mahasiswa yang berpikiran radikal memiliki ciri sebagai berikut : memiliki motivasi kekuasaan, narcissism, self assertive psychosocial orientation, dan kurangnya motivasi berafiliasi. Orum (Allen et al., 1980) mengemukakan variabel yang mempengaruhi partisipasi dalam gerakan sosial, yakni: Political trust, Political efficacy, Subgroup identification,Unstructured work routine, Self esteem dan Subjective dissatisfaction.Goodwin & Jasper (2003) dalam bukunya The Social Movement Reader menuliskan beberapa hasil riset tentang berbagai gerakan sosial, antara lain Rhoda Luis Blumberg yang meneliti civil right movement menemukan konsep relative deprivation dari Gurr dan Gurney & Tierney sebagai faktor utama munculnya gerakan memperjuangkan hak yang sama sebagai warga sipil; Jo Freeman menemukan bahwa cognitive liberation (rasa ketidakadilan dan ketidakmampuan berperan) dari Doug McAdam sebagai penyebab munculnya women’s movement; Charles Kurzman menjelaskan peran political opportunities dan charismatic leader (political or religious leader) sebagai penyebab munculnya gerakan revolusi di Iran; Knutson (1973) menyatakan partisipasi politik dipengaruhi oleh political alienation dari para warganya yang dijelaskan oleh Finefter mencakup 4 dimensi yakni powerlessness, meaninglessness, normlessness dan political isolation. Sarlito Wirawan (1978) dalam disertasinya menemukan bahwa keadaan deprivasi relatif dan frustasi dapat menimbulkan suatu gerakan protes massal mahasiswa. Aribowo (1992), menemukan bahwa fenomena gerakan mahasiswa tahun 1966 terkait dengan teori Robert Gurr bahwa fenomena deprivasi relatif dan frustasi menjadi penyebab utama dalam aksi protes mahasiswa. Suparlan Abdul Basir (2005) menemukan ada korelasi antara perilaku demonstran mahasiswa dengan pola asuh orangtua yang cenderung permisif, penanaman norma agama dan media massa secara bersama. McLeod, Glynn, & McDonald ; McLeod & McDonald (Bruce E. Pinkleton dkk 1998) menemukan bahwa penggunaan televisi secara selektif berkaitan positif dengan pengetahuan tentang urusan publik dan efficacy, yang kemudian mengarahkan pada partisipasi politik. Austin & Pinkleton (Bruce E. Pinkleton dkk 1998) menemukan ketidakpuasan (disaffection) memberikan efek yang berbeda pada political efficacy, minat dan perilaku memilih.
Inti persoalan yang dianggap sebagai dasar pijakan dalam melakukan riset ini adalah adanya fenomena kesenjangan antara beban yang dilimpahkan masyarakat berupa keharusan mahasiswa untuk berperan besar dalam kemajuan negara, tugas berat mahasiswa untuk menjadi agents of change, kesiapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan yang menuntut kemampuan untuk menangani berbagai persoalan, serta tuntutan untuk selalu kritis dan peka terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya. Sementara itu di sisi lain, keinginan untuk mengkritisi berbagai kebijakan untuk menyikapi kesewenangan, ketidakadilan, serta memunculkan perubahan kondisi masyarakat dengan cara berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa ternyata tidak banyak menimbulkan simpati dari sebagian besar masyarakat. Hal tersebut karena masyarakat menganggap bahwa gerakan mahasiswa dianggap destruktif, tidak ilmiah dan bisa menimbulkan instabilitas perpolitikan nasional yang berujung pula pada instabilitas ekonomi, sosial dan keamanan.
Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan tentang berbagai kegiatan mahasiswa dalam suatu gerakan inilah yang menjadi sebuah persoalan yang akan dijawab dalam penelitian ini, utamanya faktor yang mempengaruhi partisipasi para aktivis mahasiswa untuk turut serta dalam gerakan mahasiswa di Indonesia.
Selain itu dari ulasan berbagai fenomena gerakan mahasiswa saat sekarang ini, dapat disimpulkan bahwa persoalan politik dalam kenyataannya sangat mewarnai tema protes mereka, terutama sekali terkait dengan perasaan berperan dalam kehidupan politik atau political efficacy. Sementara itu secara teoritis banyak diketemukan hasil riset dan teori gerakan sosial yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, seperti ketidakpuasan subjektif atau sering diistilahkan sebagai deprivasi relatif. Namun demikian deprivasi relatif bisa secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi partisipasi. Keterkaitan yang tidak langsung dengan partisipasi dalam gerakan social berhubungan erat dengan political efficacy.
Sebagaimana diketahui konsekuensi logis dari peran mahasiswa yang penting dalam suatu gerakan mahasiswa tersebut adalah keinginan mahasiswa untuk mendapatkan bargaining power dalam perpolitikan nasional, baik dalam hal kebijakan, implementasi maupun pengawasan terhadap kebijakan tersebut. Perasaan berperan dalam politik ini diistilahkan sebagai political efficacy. Sebagaimana diketahui political efficacy diyakini sebagai indikator yang penting dari munculnya demokrasi yang sehat (Finifter & Pateman dalam Semetko & Valkenburg, 1998). Istilah political efficacy ini terkait dengan pandangan Bandura (dalam Semetko & Valkenburg, 1998) tentang internal efficacy atau self efficacy dan collective efficacy dalam social cognitive psychological theory. Selanjutnya Campbell, Gurin dan Miller (Morrell, 2003) mendefinisikan secara sederhana bahwa political efficacy adalah persepsi terhadap powerfullness atau powerlessness warga negara dalam realitas politik. Beberapa ahli membagi political efficacy menjadi dua bentuk, yakni internal political efficacy (keyakinan bahwa seseorang mampu memahami dengan baik sistem sosial dan politik) dan external political efficacy (keyakinan bahwa sistem memiliki tanggung jawab untuk mengadakan perubahan (Bandura; Craig & Maggioto; Powell; Shingles dalam Stewart & Weinstein, 1997).
Adanya perasaan tidak mampu mewarnai perpolitikan atau lemahnya political efficacy akan mengarahkan keinginan untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial. Salah satu penelitian yang mendukung keterkaitan di atas adalah riset Stewart & Weinstein (1997) yang menemukan adanya keterkaitan yang erat antara political efficacy dengan motivasi berpartisipasi dalam gerakan / organisasi AIDS (AIDS movement), utamanya external political efficacy. Bahkan Bandura (1973) menggunakan istilah uncoventional activist atau aktivis politik yang di luar kebiasaan bagi seseorang yang memiliki tingkatan internal political efficacy yang tinggi dan tingkatan external political efficacy yang rendah. Ciri-ciri aktivis tersebut di atas terkait pula dengan keikutsertaan kaum minoritas (kulit hitam) pada aksi atau partisipasi politik tertentu (Powell, 1982 dan Shingles, 1981; Guterbck & London,1983). Hal ini didukung pula oleh pandangan Brady dkk (1995), bahwa ketertarikan politik (politic interest) dan political efficacy akan meningkatkan aktivitas politik, misalnya voting, electoral activity, contacting public official, keikutsertaan secara formal dan informal pada isu lokal maupun melakukan protes atau demonstrasi.
Partisipasi mahasiswa dalam kegiatan protes atau demonstrasi berkaitan pula dengan perasaan kekurangan dari individu, terutama terkait dengan keinginan untuk memuaskan harapan / kebutuhan dengan realitas dari terpenuhinya kebutuhan tersebut. Kesenjangan dari harapan dan kenyataan dalam pemuasan kebutuhan tersebut akan mengarahkan pada ketidakpuasan atau seringkali diistilahkan sebagai deprivasi relatif. Kondisi seperti inilah yang membuat individu menuntaskan keinginan untuk mengurangi kesenjangan dengan cara berpartisipasi dalam aksi protes untuk mengkritisi sistem politik, yang dalam hal ini adalah pemerintah atau negara. Semakin tinggi tingkat kesenjangan antara kedua hal tersebut, akan mengarahkan keinginan untuk melakukan gerakan sosial. Adanya harapan yang tinggi pada sistem politik karena masih tingginya idealisme orang muda, ternyata tidak diimbangi oleh perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini akan memudahkan percikan munculnya gerakan mahasiswa.
Selain itu ketidakpuasan atau perasaan kekurangan dari seseorang akan mengarahkan ketidakpercayaan pada sistem politik yang ada. Semakin seseorang tidak percaya pada sistem politik yang ada, maka semakin mengarahkan seseorang untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial atau aksi protes / demonstrasi terhadap representasi pemerintah. Selain itu menurut Austin & Pinkleton (dalam Pinkleton et al., 1998) bahwa ada keterkaitan erat antara political trust dengan political efficacy, yakni cynism yang merupakan bentuk ketidakpercayaan pada politik dan pemerintahan memiliki hubungan negatif langsung dengan efficacy. Warga Negara yang sinis cenderung tidak percaya pada lembaga pemerintahan dan merasa tidak mampu mempengaruhi pemerintah. Perasaan mampu mempengaruhi tersebut yang diistilahkan sebagai political efficacy. Berbagai hasil penelitian di atas bisa disimpulkan bahwa adan keterkaitan yang erat antara deprivasi relatif, efikasi politik, kepercayaan pada sistem politik dengan keinginan seseorang untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial atau gerakan protes mahasiswa. Namun demikian hubungan antar variabel tsb masih terpisah satu dengan yang lain, sehingga model keterkaitan antara variabel tsb diasumsikan dan akan dibuktikan pada aktivis gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia
Berdasarkan fenomena aktual dan gambaran teoretis di atas, maka permasalahan yang dirumuskan adalah :
1. Apakah ada keterkaitan antara collective relative deprivation & egoistic relative deprivation, political trust, dan partisipasi dalam gerakan mahasiswa ?
2. Apakah ada keterkaitan antara collective relative deprivation & egoistic relative deprivation, internal political efficacy & external political efficacy dan partisipasi dalam gerakan mahasiswa ?
3. Apakah ada keterkaitan antara political trust, dan internal political efficacy & external political efficacy pada aktivis gerakan mahasiswa ?
B. Keaslian Penelitian
Sejauh yang penulis ketahui dari berbagai literatur yang ada, ada beberapa penelitian yang mengulas gerakan atau demonstrasi mahasiswa, antara lain sebagai berikut:
1. Penelitian (disertasi) dari Sarlito Wirawan (1978) yang mengulas tentang Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1977, dengan subjek penelitian sejumlah 2050 mahasiswa yang terdiri dari: pemimpin gerakan (58 mahasiswa), aktivis (111 mahasiswa), dan non-aktivis (1881 mahasiswa), di berbagai Perguruan Tinggi yang tersebar di 20 kota di Indonesia. Fokus penelitian ini adalah pada pengujian teori Gurr dan Smelser tentang keadaan deprivasi relatif dan frustasi yang akan menimbulkan suatu gerakan protes massal mahasiswa.
2. Penelitian (thesis) dari Haryanto (1987) yang berjudul The Phases of the Indonesian Movements 1977 – 1978 ; Descriptive Study. A Thesis Presented to The Faculty of The Graduate Scholl Ateneo de Manila University. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1978, untuk mengetahui berbagai bentuk organisasi demonstrasi mahasiswa dari tahun 1966 – 1978 dengan metode deskriptif.
3. Tesis dari Aribowo (1992), dengan judul “Gerakan Mahasiswa 1966 Sebagai Kekuatan Anomi”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif berdasarkan data sejarah pelaku / aktivis 1966, utamanya tentang fenomena politik mahasiswa dan latar belakang munculnya gerakan sosial politik mahasiswa. Konsep psikologi yang digunakan dalam menjelaskan fenomena gerakan 1966 adalah teori Robert Gurr tentang fenomena deprivasi relatif dan frustasi dalam aksi protes mahasiswa.
4. Penelitian kualitatif dari Fiesta Yumpi R. (1996) tentang Perilaku Demonstran: Studi tentang Kelompok Gerakan Sosial Mahasiswa Forum Mahasiswa Jombang. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif untuk meneliti (studi kasus) tentang berbagai bentuk kegiatan kelompok demonstran forum Mahasiswa Universitas Darul Ulum Jombang.
5. Tesis dari Andik Matulessy (2003) tentang Faktor-faktor Penyebab Partisipasi Mahasiswa dalam Gerakan Sosial, yang dilakukan pada mahasiswa aktivis dan non-aktivis di Perguruan Tinggi Surabaya dan Yogyakarta sejumlah 139 orang, dengan rincian 59 demonstran / aktivis dan 80 non-aktivis. Penelitian ini dilakukan selama tahun 1995 – 1996, yakni masa-masa persiapan mahasiswa untuk melakukan gerakan mahasiswa yang besar di tahun 1998. Tesis dilakukan untuk membuktikan model dari teori Orum tentang faktor penyebab partisipasi dalam gerakan sosial.
6. Tesis dari Hamka (2000) yang berjudul “Gerakan Mahasiswa Indonesia Studi Perbandingan antara Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dengan penjelasan komparatif dan komphrehensif berdasarkan teori-teori aksi kolektif.
7. Disertasi dari Suparlan Abdul Basir dengan judul “Perilaku Demostran Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua”. Penelitian ini dilakukan pada 121 mahasiswa semester genap 2003 di Fakultas Hukum, Fakultas Sastra dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, yang pernah mengikuti kegiatan demonstrasi. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda dengan hasil sebagai berikut: ada hubungan antara perilaku demonstran mahasiswa dengan pola asuh orangtua yang cenderung permisif, penanaman norma agama dan media massa secara bersama; tidak ada hubungan antara perilaku demonstran dengan pola asuh orang tua yang cenderung otoriter; tidak ada hubungan antara perilaku demonstran dengan pola asuh orangtua yang cenderung otoritatif; ada hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku demonstran dengan pola asuh orangtua yang cenderung permisif; ada hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku demonstran dengan penanaman norma agama; serta ada hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku demonstran dengan media massa.
8. Tesis dari Ismail (2005) yang meneliti tentang “Hubungan antara Harga Diri dan Aktualisasi Diri dengan Partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial. Penelitian dilakukan terhadap 100 aktivis mahasiswa di UGM dan UIN Sunan Kalijaga. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa : ada hubungan yang sangat signifikan secara bersama-sama antara harga diri dan aktualisasi diri dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial; ada hubungan yang sangat signifikan antara harga diri dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial; serta tidak ada hubungan antara aktualisasi diri dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial
Publikasi ilmiah dan penelitian di atas yang sejauh ini diketahui penulis, namun demikian peneliti lebih fokus untuk mengungkapkan berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi dalam kegiatan gerakan mahasiswa dalam suatu model berdasarkan pada berbagai teori dan penelitian yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi belahan daerah Asia yang lain. Selain itu penelitian untuk disertasi ini mencakup hal-hal lain sebagai berikut : Subjek pada penelitian nantinya memfokuskan pada mahasiswa yang terlibat sebagai aktivis gerakan mahasiswa, sedangkan penelitian sebelumnya banyak menggunakan aktivis dan non aktivis sebagai subjek penelitian. Hal tersebut karena didasari oleh adanya perbedaan mendasar antara perilaku partisipan dengan perilaku non-partisipan dalam gerakan sosial (Turner&Killian dan Smelser dalam Locher, 2002). Hal yang sama dikemukakan oleh McPhail (Michener & Delamater, 1999), bahwa ada perbedaan yang signifikan pada frustasi atau deprivasi relatif yang terjadi antara partisipan dan non-partisipan dalam demonstrasi.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui keterkaitan antara deprivasi relatif egoistik dan deprivasi relatif kolektif, political trust, dan partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
2. Untuk mengetahui keterkaitan antara deprivasi relatif egoistik dan deprivasi realtif kolektif, political efficacy internal dan eksternal dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara political trust dengan internal political efficacy dan external political efficacy pada aktivis gerakan mahasiswa.
D. Manfaat Penelitian
Secara praktis manfaat penelitian ini diharapkan akan memberikan gambaran lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi aktivis mahasiswa untuk melakukan aktivitas gerakan, yang dapat menjadi sumbangan informasi yang efektif dalam menangani munculnya berbagai gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia utamanya di Jawa Timur.
Secara teoritis dari penelitian ini akan didapatkan gambaran tentang partisipasi mahasiswa dalam berbagai bentuk gerakan protes yang bernuansakan politik seperti yang terjadi saat ini, sehingga dapat digunakan sebagai dasar melakukan penelitian lebih lanjut, terutama dari disiplin ilmu psikologi politik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gerakan Mahasiswa
1. Definisi dan Pengertian
Salah satu bentuk gerakan sosial (social movement) adalah gerakan mahasiswa (student movement), di samping berbagai gerakan lain yang dilakukan oleh buruh, kaum gay, feminis, pecinta lingkungan, petani dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, studi tentang gerakan sosial banyak bersangkut paut dengan disiplin ilmu sosiologi politik dan psikologi sosial, baik dari ulasan makro maupun mikro (Cook et al., 1995). Kaitan erat fenomena gerakan sosial dengan psikologi sosial terkait dengan beberapa tulisan para ahli sebagai berikut (Locher, 2002): pertama kali konsep tersebut muncul dari publikasi Charles Makay yang berjudul Extraordinary Popular Delusions & The Madness of Crowds tahun 1841; kemudian karya Gustav Le Bon yang berjudul The Crowd, publikasi le Bon ini membawa pengaruh besar meningkatkan perkembangan penelitian tentang perilaku kolektif, seperti Robert Park seorang Amerika yang studi di Jerman dan menulis disertasi tentang perilaku individu dalam kerumunan tahun 1904; selanjutnya Park dan Ernest Burgess mengulas contagion theory dalam buku Introduction to the Science of Sociology tahun 1921; Ralph Turner dan dan Lewis Killian yang memperkenalkan teori Emergent Norm Perspective dalam bukunya Collective Behavior tahun 1957; Neil Smelser dengan teori The Value-Added dalam buku Theory of Collective Behavior tahun 1962; Clarck McPhail dengan teori SBI (symbolic interactionist/ behaviorist) atau Sociocybernetic yang menekankan bahwa perilaku kolektif adalah bentuk dari perilaku kelompok; Floyd Allport dengan teori Konvergen mengulas perilaku kolektif dalam buku Social Psychology tahun 1924; Neil Miller dan John Dollard dalam buku Social Learning and Imitation tahun 1941; pendekatan individual terhadap perilaku kolektif dimunculkan tahun 1988 oleh Michael Hogg dan Dominic Abrams dalam bukunya Social Identification : A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes; William Kornhauser dengan teori Mass Society dalam buku The Politics of Mass Society tahun 1959 menyatakan bahwa gerakan sosial (social movement) sifatnya personal daripada politis, karena terkait dengan keinginan terbebas dari masalah perasaan terkekang/ terisolasi; Stoufer dengan teori deprivasi relatif tahun 1949 yang kemudian dikembangkan oleh Denton Morrison tahun 1971 dalam buku Some Notes toward Theory on Relative Deprivation, Social Movements and Social Change; Meyer Zald dan Roberta Ash dalam bukunya Social Movement Organizations memunculkan teori Resource Mobilization; serta Douglas Mc Adam dengan teori Political Process dalam buku terbitan tahun 1982 dengan judul Political Process and the Development of Black Insurgency 1930-1970 (Locher, 2002).
Di samping itu, menurut Cook et.al. (1995) banyak publikasi dari psikolog yang mengulas perilaku kolektif dan gerakan sosial dari sudut psikologi sosial, antara lain : Freud dengan bukunya Group Psychology & the Analysis of the Ego, yang terbit tahun 1921; Dollartd et al. dengan bukunya Frustration and Aggression yang terbit tahun 1939; Adorno et al. dengan buku The Authoritarian Personality yang terbit tahun 1950.
Sementara itu Stephan & Stephan (1985) menulis dalam bukunya Two Social Psychologies : An Integrative Approach, dengan membagi perilaku kolektif menjadi tiga, yakni : mass behaviour (public opinion, fads, fashions,crazes, panics), crowds(street crowds, riots, mobs) dan social movements. Lebih jauh lagi DiRenzo (1990) dalam bukunya Human Social Behavior mengungkapkan berbagai jenis dari perilaku kolektif, antara lain : crowds, panic behavior, mass hysteria, behavior in disasters, rumor, publics, public opinion, mass behavior, dan social movement. Gary T. Marx & Douglas Mc Adam (1994) dalam buku Collective Behavior and Social Movements : Process & Structure membagi perilaku kolektif berdasarkan tiga kategori, yakni crowds, masses dan formal organizations. Sedangkan Locher (2002) dalam bukunya Collective Behavior membedakan perilaku kolektif sebagai berikut : mass suicides, mob violence, riots, crazes, panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, sightings, miracles dan social movements. Sementara itu John Lofland (2003) memilah perilaku kolektif mencakup empat jenis, yakni kerumunan (crowd), massa (mass), publik, dan gerakan sosial (social movement). Sedangkan James M. Henslin (2005) dalam buku Sociology : A Down To Earth Approach membagi perilaku kolektif dalam beberapa bentuk, antara lain : crowd, riots, rumors, panics & mass hysteria, moral panics, fads & fashions, urban legends dan social movement.
Gerakan sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain, terutama dalam hal pengorganisasian kelompok yang tidak nampak pada jenis perilaku kolektif yang lain. Pada dasarnya gerakan sosial mencakup beberapa konsep (Cook et al., 1995), yakni:
a. Berorientasi pada munculnya perubahan (change-oriented goals), artinya gerakan sosial dilakukan untuk mendapatkan perubahan positif dari berbagai problem sosial yang terjadi, baik yang sifatnya individual, seperti tidak terpuaskannya berbagai kebutuhan ataupun yang sifatnya kolektif, seperti adanya kesewenangan penguasa terhadap rakyat.
b. Ada tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization), artinya sebuah gerakan sosial membentuk organisasi tertentu yang memiliki ciri-ciri, misalnya: ada struktur, pembagian posisi dan peran, aturan organisasi, hak dan kewajiban anggota, dsb, walaupun kadang-kadang implementasi sebuah gerakan sosial tidak sesempurna seperti organisasi pada umumnya.
c. Ada tingkatan kontinuitas aktivitas yang sifatnya temporal (some degree of temporal continuity), artinya aktivitas gerakan sosial tergantung pada situasi dan kondisi sosial tertentu, saat muncul berbagai persoalan sosial maka banyak terjadi gerakan protes mahasiswa, namun demikian saat problem / isu sosial sudah tertangani dengan baik, maka untuk sementara waktu gerakan sosial yang ditandai dengan berbagai protes akan berhenti.
d. Aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan di dalam lembaga (lobi politik) (some extrainstitutional and institutional), artinya sebuah gerakan sosial bisa saja berkolaborasi dengan sistem atau berbentuk ungkapan protes yang tidak menentang sistem dan mementingkan pendekatan politik. Namun demikian gerakan sosial dapat pula berbentuk aktivitas yang menentang atau berkonflik dengan sistem yang ada.
Sedangkan John Lofland (2003) mendefinisikan gerakan sosial dalam konsep baru yang mencakup ciri-ciri sebagai berikut :
a. Organisasi kekerasan atau protes sebagai ekspresi dari semangat muda yang dimunculkan secara independen.
b. Meningkatnya secara cepat kuantitas aksi dan peserta kegiatan protes atau kekerasan, baik terencana maupun tidak terencana.
c. Banyak bermunculan opini massa akibat aksi protes / kekerasan.
d. Aksi protes banyak ditujukan pada oknum lembaga sentral (pemerintahan).
e. Sebagai bentuk upaya untuk memunculkan perubahan pada struktur makro dan mikro dari lembaga sentral (pemerintahan).
Sedangkan Mirsel (2004) mengungkapkan bahwa perkembangan teori tentang gerakan sosial, terutama nampak dari perubahan organisasi gerakan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Gerakan sosial berkaitan erat dengan organisasi dan perilaku organisatoris.
b. Tujuan atau cita-cita seperti apapun yang dimunculkan dalam gerakan sosial, namun strategi yang dilakukan untuk meraih tujuan biasanya rasional.
c. Aktivitas utama dari organisasi gerakan sosial adalah memobilisasi berbagai macam konstituen dengan berbagai cara sebagai upaya mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan, seperti waktu, tenaga aktivis, dana, senjata, serta dukungan media.
d. Bentuk organanisasi gerakan sosial dan strategi penggalangan sumber daya terkait dengan bentuk aktivitas organisasi yang melembaga.
e. Berbagai fenomena perilaku kolektif (riots, mobs, rumour dsb) berkaitan erat dengan gerakan sosial, karena sengaja diciptakan (manufactured product) sebagai bentuk taktik dalam gerakan sosial, bukan awal dari gerakan sosial (primordial matter).
f. Bentuk aksi dari organisasi gerakan sosial berada pada suatu struktur, terutama political opportunity structure yang membuat strategi gerakan mengarah pada pola yang ada dalam struktur, walaupun tidak secara mekanis mengikuti struktur tersebut.
g. Antar organisasi gerakan sosial ada keterkaitan yang kompleks, baik sebagai pesaing atau saling berlawanan (counter movement), sehingga bisa saja terjadi organisasi ganda terkait dengan organisasi yang lain, berbagai kelompok kepentingan dan organisasi pemerintahan.
Berdasarkan berbagai konsep di atas nampak sekali bahwa gerakan sosial mencakup pula adanya suatu bentuk organisasi tertentu yang lebih kompleks dan bertahan lama dibanding perilaku kolektif lain misalnya crowd.
Lebih detail lagi Wichener & Delamater (1999) menyebutkan bahwa gerakan sosial merupakan aktivitas kolektif yang mengekpresikan perhatian yang sangat tinggi terhadap berbagai persoalan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa perkembangan dari gerakan sosial dipengaruhi oleh tiga hal penting, yakni : seseorang harus mengalami tekanan atau deprivasi, adanya interaksi partisipan gerakan sosial yang didasarkan oleh ideologi yang mengarahkan pada aktivitas kolektif, serta adanya keberlangsungan gerakan sosial, yang didasari oleh ideologi dan diperkuat oleh jaringan sosial dalam sebuah gerakan.
Sementara itu Locher (2002) menekankan bahwa gerakan sosial (social movement) memiliki karakteristik yang berbeda dengan perilaku kolektif yang lain, yakni : (1) organized, perilaku para aktivis / partisipan dalam gerakan sosial memiliki strategi tertentu, ada pemimpin yang membuat tugas-tugas tertentu pada anggotanya, ada kesadaran untuk mengarah pada sebuah tujuan tertentu;(2). deliberate,artinya ada kesengajaan dari aktivis gerakan untuk ikut serta dalam gerakan sosial, sebagaimana diketahui dalam upaya mencari publisitas maka sedikit banyaknya orang yang ikut serta akan sangat berpengaruh, karena ada perencanaan yang disengaja untuk membesarkan bargaining power gerakan;(3). enduring, artinya sebuah gerakan sosial bisa berjangka waktu lama bahkan ada yang dalam hitungan tahunan, seperti Green Peace, tergantung pada tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah gerakan sosial. Lebih jelasnya dapat dilihat dari berbagai definisi dan pengertian dari gerakan sosial di bawah ini.
Definisi psikologi dari gerakan sosial dikemukakan oleh Toch (dalam Lindzey & Aronson, 1975) yakni usaha dari sejumlah orang untuk menyelesaikan problem secara kolektif. Lebih jauh gerakan sosial dapat didefinisikan pula sebagai gerakan suatu organisasi atau sekelompok organisasi yang bermaksud mengadakan perubahan terhadap struktur sosial yang sudah ada sebelumnya (Orum, 1974; Stallings, 1973; Wiggins et al., 1994; Cook et al., 1995; Allen et al., 1980). Sementara itu DiRenzo (1990) mendefinisikan gerakan sosial sebagai perilaku dari sebagian anggota masyarakat untuk mengoreksi kondisi yang banyak menimbulkan problem atau tidak menentu, serta memunculkan kehidupan baru yang lebih baik. Hal ini didukung oleh pandangan James M. Henslin (2005) bahwa gerakan sosial adalah adanya sekelompok orang yang terorganisir untuk mendukung atau menolak perubahan sosial. Sementara itu Moyer (2006) menekankan bahwa gerakan sosial adalah gerakan kolektif yang mana massa disiagakan, dididik, dan dikerahkan selama bertahun-tahun dan beberapa dekade untuk menghadapi tantangan pemegang kekuasaan dan keseluruhan masyarakat untuk mengatasi masalah sosial atau berbagai keluhan, serta menata kembali nilai-nilai sosial yang kritis.
Di sisi lain, Toch (dalam Kuppuswamy, 1979) mendefinisikan gerakan sosial sebagai suatu usaha sejumlah individu yang secara kolektif bertujuan untuk menyelesaikan problem yang muncul dalam suatu masyarakat. Searah dengan hal itu Blumer (dalam Allen et al., 1980) mendefinisikan gerakan sosial sebagai kegiatan kolektif untuk memunculkan kehidupan baru yang lebih baik. Sedangkan Gusfield (dalam Allen et al., 1980) mengartikan gerakan sosial sebagai aktivitas dan kepercayaan masyarakat serta harapan akan adanya perubahan beberapa aspek dari kondisi sosial. Gerakan sosial yang dimaksudkan di sini, berbeda dengan perilaku kolektif yang lain seperti crowd, karena gerakan sosial lebih terstruktur, mempunyai tujuan lebih jelas, serta mampu bertahan lama sebagai fenomena sosial ( DiRenzo, 1990; Wiggins et al., 1994; Cook et al., 1995).
Sementara itu Mirsel (2004) membuat definisi gerakan sosial sebagai gerakan kemasyarakatan, yakni seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga (noninstitutionalised) yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan dalam sebuah masyarakat. Definisi di atas menggaris-bawahi bahwa gerakan sosial merupakan aktivitas kolektif yang tidak diakui secara sah keberadaannya oleh pemerintah yang bertujuan untuk membuat perubahan atau tidak menginginkan adanya perubahan dalam sebuah sistem kemasyarakatan.
Zurcher & Snow (dalam Michener dan Delamater, 1999), mendefinisikan gerakan sosial sebagai aktivitas kolektif yang mengekspresikan tingkat kepedulian yang tinggi tentang beberapa isu tertentu. Kepedulian tersebut bisa dalam bentuk petisi, menyisihkan waktu dan uang, menceritakan pada keluarga atau teman, berpartisipasi dalam pawai atau demo, mengungkapkan ketidakpatuhan atau mengkampanyekan dukungan pada kandidat tertentu. Lebih lanjut Toch (dalam Virianita dkk, 2003) mendefinisikan gerakan sosial sebagai sebuah usaha dari sejumlah besar orang untuk memecahkan persoalan mereka secara kolektif, khususnya persoalan yang dirasakan sama dan muncul dalam hubungannya dengan kelompok lain. Tajfel (dalam Virianita dkk, 2003) mengembangkan konsep Toch tentang gerakan sosial dan mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya yang dilakukan oleh sejumlah orang yang mendefinisikan dirinya dan didefinisikan pula oleh anggota lain sebagai kelompok untuk secara kolektif memecahkan persoalan yang dirasakan bersama dan mempertimbangkan akibat yang muncul terkait dengan orang lain.
Gerakan mahasiswa atau aksi kolektif mahasiswa termasuk dalam kategori gerakan sosial karena memiliki beberapa ciri khas (Hamka, 2000), antara lain :
a. Gerakan mahasiswa diwadahi oleh organisasi, baik yang bersifat permanen untuk menjangkau kepentingan jangka panjang maupun gerakan temporer (anomic) yang berlangsung dalam jangka pendek. Sebagai contoh gerakan yang bersifat permanen, yakni HMI, PMII, GMNI, PMKRI, sedangkan yang bersifat temporer seperti KAMI, KAMMI, SMID.
b. Setiap gerakan mahasiswa memiliki tujuan yang berbeda sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan keanekaragaman organisasi. Tujuan gerakan mahasiswa yang permanen adalah untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah di setiap waktu. Sedangkan tujuan dari gerakan mahasiswa yang temporer adalah berupaya menekan kebijakan pemerintah dan melakukan perubahan politik yang mendasar secepatnya.
c. Gerakan mahasiswa dilakukan dengan penuh kesadaran dan bukan semata-mata atas dasar ketidakpuasan serta emosi yang membabi buta. Jadi gerakan mahasiswa didasarkan pula pada idealisme, kepekaan, sikap kritis dan anti kemapanan.
d. Setiap kelompok gerakan mahasiswa memiliki ideologi yang bervariasi sesuai bentuk organisasi dan kondisi politik yang ada. Sebagai contoh, HMI dengan ideologi Islam, GMNI dengan ideologi nasionalisme, KAMI dengan ideologi radikalisme, serta SMID dan PIJAR dengan ideologi populisme kiri, dengan membela kaum buruh dan tani.
e. Gerakan mahasiswa tidak membentuk lembaga resmi seperti partai politik, namun lebih menekankan aksi-aksi kolektif yang inkonvensional untuk memujudkan tujuan gerakan. Sarana mobilisasi aksi massa berupa organisasi temporer seperti kesatuan aksi / komite dan solidaritas ad-hoc untuk menggelar parlemen jalanan. Namun demikian dalam kasus tertentu, ada pula kelompok gerakan mahasiswa yang menjelma menjadi partai politik, misalnya Partai Rakyat Demokratik (PRD).
f. Di dalam menggelar aksi protes kolektif, gerakan mahasiswa menampilkan isu yang strategis sebagai sarana untuk memobilisasi massa dan mengefektifkan aksi. Sebagai contoh, KAMI dengan isu Tritura, dan aksi mahasiswa tahun 1998 mengangkat isu KKN, penurunan harga bahan pokok, pencabutan Undang-Undang Politik, serta penurunan Presiden Soeharto.
Berdasarkan berbagai definisi dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa adalah perilaku kolektif dari sekumpulan mahasiswa dalam waktu yang relatif lama, terorganisir dan mempunyai tujuan untuk mengadakan perubahan struktur sosial yang dianggap tidak memenuhi harapan, serta memunculkan kehidupan baru yang lebih baik.
2. Jenis Gerakan
Gerakan sosial berkaitan erat dengan aksi atau perilaku kolektif (collective behavior). Sementara itu aksi kolektif mencakup tiga istilah pokok, yakni : aksi (action), kolektif (collective), dan tujuan (goals). Aksi yang dilakukan bisa dibedakan menjadi empat jenis (Wiggins et al., 1994), yaitu: aksi sipil (civil actions) seperti melakukan kampanye tertulis atau konperensi pers; aksi protes (protest actions), seperti demonstrasi atau turun ke jalan; aksi menghalang-halangi (obstruction actions), seperti duduk di jalan; serta aksi kekerasan (violent actions), seperti melakukan huru hara atau kegiatan terorisme. Kelompok sosial ekonomi menengah ke atas cenderung menggunakan model civil actions dan protest action sebagai usaha mendapatkan perubahan kehidupan sosial yang lebih baik. Sebaliknya kelompok sosial ekonomi bawah cenderung menggunakan strategi obstruction dan violent action, karena merasa kurang memiliki sumber finasial yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Sedangkan konsep perilaku kolektif mengindikasikan bahwa aksi tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang akan dibedakan menjadi tiga hal (Wiggins et al., 1994) :
a. Organisasi (Organizations) : suatu gerakan sosial bisa berupa organisasi tunggal atau jaringan dari beberapa organisasi. Organisasi yang mempunya tujuan utama mengadakan perubahan sosial ini disebut dengan organisasi gerakan sosial (Social Movement Organization/ SMO).
b. Kelompok dengan ciri-ciri tertentu (Identity Groups) : perilaku kolektif dari sekelompok orang yang lebih mendasarkan pada kategori yang sama / sejenis, misalnya gerakan wanita / feminis, petani, homoseksual, kulit putih, kulit hitam, mahasiswa, atau pekerja/buruh.
c. Crowd : merupakan perilaku kolektif dari beberapa orang yang berkumpul bersama pada suatu waktu yang terbatas untuk mempertanyakan / memprotes suatu topik tertentu. Perilaku individu yang berada dalam bentuk crowd ini sulit untuk diarahkan atau dikontrol.
Secara lebih rinci, aspek ketiga untuk mengklasifikasikan perilaku kolektif, yakni berdasarkan tujuan atau cara tertentu yang digunakan. Berdasarkan tujuan yang terkait dengan munculnya perubahan sosial, maka ada tiga jenis gerakan sosial (Wiggins et al., 1994), yakni :
a. Melarikan diri dari kultur yang dominan (escaping the dominant culture), dengan harapan terhindar dari sangsi negatif yang diberikan oleh kultur yang dominan tersebut.
b. Melakukan perubahan pada kultur yang dominan (changing the dominant culture), yang biasa juga disebut sebagai gerakan perubahan yang dilakukan oleh kaum minoritas untuk mendapat kesetaraan hak.
c. Tidak menginginkan adanya perubahan dari kultur yang dominan (resisting a change in the dominant culture), sebagai contoh adanya kebebasan untuk melakukan aborsi menumbuhkan gerakan anti aborsi (pro-life movement).
Sementara itu Roberta Garner (dalam Mirsel, 2004) membagi delapan tipe utama dari gerakan sosial, yakni konservatisme, liberalisme, sosialisme dan gerakan sayap kiri, gerakan keagamaan, nasionalisme, fasisme & nazisme, gerakan gender dan berorientasikan jenis kelamin, serta gerakan lingkungan hidup. Pembagian jenis gerakan sosial tersebut ditekankan dalam konteks sejarah masyarakat modern. Lebih jauh Gould dan Truitt (dalam Mirsel, 2004) membagi jenis gerakan sosial antara lain : gerakan liberalisme, fasisme, konservatisme, golongan sayap kanan radikal, golongan sayap kiri baru (New Left), Marxisme dan Marxisme-Leninisme, sosialis demokrat, gerakan Dunia Ketiga, anarkisme, dan budaya tandingan (counter culture).
Sementara itu DiRenzo (1990) mengungkapkan empat tipe gerakan sosial dengan berbagai ciri dan contoh gerakan sosial tersebut, yakni :
a. Gerakan Perubahan (Reform Movements) :
Gerakan perubahan dipusatkan pada adanya berbagai perubahan bentuk tertentu dari masyarakat. Tujuan gerakan perubahan ini terbatas, yakni mengoreksi ketidakadilan yang ada di masyarakat. Gerakan perubahan seperti ini cenderung bekerja pada suatu sistem daripada melawan sistem. Contoh dari gerakan ini antara lain: Gerakan Sadar Lingkungan, Kelompok Gay, dan Feminis.
b. Gerakan Revolusioner (Revolutionairry Movement) :
Gerakan revolusioner cenderung sebagai gerakan yang ingin mengadakan perubahan secara radikal pada nilai sosial, institusi, dan aktivitas dari suatu sistem. Gerakan revolusioner cenderung menggunakan kekerasan untuk mendapatkan suatu yang diinginkan. Banyak negara yang bermunculan akibat adanya gerakan revolusi, antara lain: Perancis, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Berbagai contoh gerakan ini antara lain: Revolusi Cina Komunis untuk membentuk negara RRC tahun 1949; Revolusi Kuba tanggal 26 Juli 1950 oleh Fidel castro untuk menumbangkan rejim Fulgencio Battista; Revolusi menggulingkan Shah Iran Reza Pahlevi oleh Ayatollah Khomeini tahun 1979; dan revolusi yang terjadi di Nicaragua tahun 1980 yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Sandinista untuk menjatuhkan kepemimpinan diktatorial Anastasio Somoza.
c. Gerakan Reaksioner (Reactionarry Movements) :
Tujuan gerakan reaksioner adalah menghalangi perubahan yang akan terjadi atau mencegah perubahan yang berasal dari tempat lain. Gerakan ini kebanyakan muncul pada saat perubahan sosial yang radikal terjadi. Selama terjadinya perubahan sosial yang drastis tersebut banyak individu yang mengalami perasaan tidak jelas, cemas dan tidak menentu. Akibatnya mereka memelihara status quo atau kembali pada cara / jalan sebelumnya. Contoh gerakan ini adalah Klu Klux Klan yang tidak menginginkan hak yang sama antara kulit hitam dan putih; kampanye melawan Equal Right Amendment yang diperjuangkan kaum feminis; gerakan Life to Life yang ingin mencabut legalisasi aborsi; gerakan Moral Majority yang berjuang untuk kembali pada ajaran agama Kristen yang fundamental; serta gerakan anti nuklir (Green Peace).
d. Gerakan Ekspresif (Expressive Movements) :
Gerakan ekspresif ini lebih ditujukan pada individu daripada masyarakat. Berbeda dengan gerakan sosial lainnya, gerakan ekspresif ini berorientasi pada perubahan psikologis. Gerakan ini mencari kepuasan emosional dan kesejahteraan masyarakat yang mengarah pada pengembangan identitas atau gaya hidup yang baru. Individu yang bergabung dalam gerakan ini berharap menemukan jalan yang efektif sebagai kompensasi dari perasaan frustasi yang diakibatkan kondisi sosial yang menindas. Individu merubah hubungan atau reaksi pada masyarakat dengan mengadopsi filosofi kehidupan yang baru atau merevisi sistem kepercayaan dan nilai-nilai hidupnya. Contoh dari gerakan ini antara lain: Gerakan Kebebasan Gay (Gay Liberation Movement) dan Gerakan Kebebasan Wanita (Women’s Liberation Movement).
Sementara itu Locher (2002) mengungkapkan berbagai jenis dari gerakan sosial, antara lain:
a. Alternative Social Movements
Gerakan sosial ini menginginkan adanya perubahan pemikiran / perilaku pada sekelompok orang pada masalah tertentu. Gerakan ini tidak mengancam stabilitas pada struktur sosial tertentu, namun hanya mengadakan perubahan tertentu pada masyarakat dengan cara-cara tertentu pula. Sebagai contoh Program DARE (Drug Abuse Resistance Education) dan SADA (Students Against Drugs and Alcohol), yakni sebuah gerakan yang memiliki sasaran mengarahkan kalangan muda Amerika untuk menjauhi narkoba.
b. Redemptive Social Movements
Gerakan ini menginginkan adanya perubahan yang lebih dramatis, tetapi hanya dalam kehidupan dari kelompok tertentu. Tujuan dari gerakan ini adalah mengadakan perubahan / transformasi pada kelompok tertentu. Jadi target perubahan adalah pada kelompok yang spesifik dan terbatas. Contoh dari gerakan ini adalah gerakan dari sekte tertentu yang bertujuan memberikan ajaran tentang keselamatan yang hanya ditujukan kepada mereka yang masuk dalam kelompoknya.
c. Reformative Social Movements
Gerakan ini menginginkan adanya perubahan pada komunitas atau masyarakat dengan cara-cara yang terbatas. Tujuan dari gerakan ini adalah merubah sikap masyarakat tentang topik atau pandangan tertentu. Gerakan reformasi sosial ini tidak ingin melawan atau mengganti pemerintahan, tapi ingin pemerintah merubah hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Gerakan ini bisa bersifat progresif atau reaksioner.
d. Revolutionarry Social Movements
Gerakan ini menginginkan adanya perlawanan yang total terhadap pranata sosial sebelumnya dan mengganti dengan sistem yang baru. Tujuan gerakan ini adalah mengadakan perubahan total di masyarakat. Gerakan ini ingin melawan pemerintahan dan mengganti dengan pemimpin yang baru. Biasanya akan muncul dinasti atau pemerintahan dengan paham baru yang sangat berbeda dengan pemerintahan / kekuasaan sebelumnya.
Sementara itu Aberle (James M.Henslin, 2005) membuat klasifikasi jenis gerakan sosial berdasarkan 2 hal, yakni seberapa besar perubahan yang terjadi (sebagian atau total) dan target dari perubahan (individu, masyarakat dan dunia).
Adapun enam jenis gerakan sosial yang dikemukakan oleh Aberle (dalam Henslin, 2005) dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut :
1. Alterative social movements adalah suatu gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mendapatkan perubahan perilaku yang spesifik. Sebagai contoh gerakan ini adalah Women’s Christian Temperance Union di Amerika tahun 1900-an yang bertujuan untuk menghentikan kebiasaan minum alkohol di masyarakat, karena dianggap bisa menyebabkan kemiskinan dan perlakuan kekerasan pada wanita (istri).
2. Redemptive social movements adalah suatu gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mendapatkan perubahan perilaku yang total. Contoh gerakan ini adalah geraka fundamentalis Kristen yang menginginkan pengikutnya untuk mengikuti ajaran Kristen pada segenap perilakunya.
3. Reformative social movements adalah suatu gerakan yang dilakukan untuk mendapatkan perubahan aspek tertentu di masyarakat. Contoh dari gerakan ini adalah gerakan hak sipil (civil right movement) atau kelompok minoritas yang menginginkan kesetaraan dalam pendidikan atau hak politik.
4. Transformative social movements adalah suatu gerakn yang dilakukan untuk mengadakan perubahan besar dan radikal di masyarakat atau mengganti tatanan sosial yang sudah ada dengan yang baru (good society). Contoh gerakan ini adalah gerakan revolusi yang dilakukan di banyak negara, seperti : Perancis, Rusia dan Kuba.
5. Transnational social movements, yang sering diistilahkan sebagai gerakan sosial baru (new social movement), yakni suatu gerakan yang menginginkan adanya perubahan tidk hanya di masyarakat (regional/nasional) tetapi di belahan dunia yang lain pula. Tujuan gerakan sosial ini adalah menginginkan adanya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Contoh dari gerakan ini adalah women’s movement, labor movement, environmental movement dan animal rights movement.
6. Metaformative social movements adalah suatu gerakan yang bertujuan melakukan perubahan tatanan social tidak hanya pada satu atau dua wilayah, namun mendunia. Gerakan social ini melakukan reformulasi secara konsep maupun aksi terkait dengan etnis, ras, jender, agama, system pemerintahan, stratifikasi Negara secara global. Contoh gerakan ini adalah communist movement, fascist social movement, dan international terrorism yang dimunculkan gerakan al-Qaeda.
3. Proses Terjadinya Gerakan
Ryan (dalam DiRenzo, 1990) mengidentifikasikan empat tingkatan dari gerakan sosial. Formulasi secara sederhana di bawah ini dapat membantu untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang dinamika dan proses dari gerakan sosial. Empat tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Incipient Stage :
Gerakan sosial diawali dari adanya tekanan struktur atau kondisi sosial tidak memuaskan yang dialami oleh individu. Kondisi yang tidak menyenangkan dan tidak teraihnya kebutuhan bisa disebabkan oleh suatu persoalan tertentu, misalnya diskriminasi atau pengangguran. Kondisi ini mengarah pada situasi tidak nyaman (malaise) yang mengembangkan alienasi, kemudian massa menjadi gelisah dan muncul keresahan di masyarakat. Kondisi seperti ini merupakan karakteristik khas yang memungkinkan munculnya atau kesiapan untuk melakukan gerakan sosial.
b. Popular Stage :
Pada tingkatan selanjutnya berkembang sejumlah orang yang saling mengenal dan membagi perasaan antara satu dengan yang lain. Identifikasi dengan gerakan akan meningkat secara cepat bila kondisi yang tidak menyenangkan semakin bertambah. Pimpinan atau agitator menjadi pemicu dramatisasi situasi dan meningkatkan jumlah pengikut gerakan. Aktivitas utama pada fase ini mencakup klarifikasi persoalan dan tujuan, serta memelihara aktivitas yang berbeda dari para anggota dengan memusatkan diri pada tujuan gerakan.
c. Organizational Stage
Pada fase ini terjadi aktivitas yang lebih kompleks, yakni adanya klarifikasi tujuan dan mobilisasi aksi, serta terbentuknya kelompok formal dan organisasi yang lebih sempurna. Selama periode ini nampak perilaku yang terstruktur, yakni : munculnya pemimpin formal, peran kepemimpinan mulai terdefinisikan secara jelas, tugas-tugas anggota gerakan dikembangkan, adanya kebijaksanaan khusus dan program kegiatan, tujuan gerakan, strategi peningkatan aksi dan jumlah pengikut aksi mulai meningkat. Akhirnya kelompok gerakan akan mengembangkan aksi, namun tetap bergantung pada ukuran gerakan, perbedaan opini tentang persoalan dan metode resolusi yang telah dilakukan oleh sistem yang ada.
d. Institutional Stage
Fase terakhir ini muncul apabila gerakan yang penuh kesuksesan diintegrasikan dalam sejumlah struktur sosial dari masyarakat. Perkembangan situasi bisa membuat gerakan sosial tidak lama lagi menjadi menjadi suatu fenomena perilaku kolektif yang relatif menetap. Organisasi gerakan sosial ini akan menjadi bagian dari organisasi sosial lain yang permanen dan lembaga yang terstruktur dari suatu masyarakat. Akhirnya muncul lembaga tertentu yang mempunyai tendensi untuk ekspansi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Namun demikian kebanyakan gerakan sosial tidak sampai pada fase ini, karena sulit untuk mengarahkan pada sustainability gerakan yang mendasarkan pada fanatisme aktivis gerakan. Keberlangsungan gerakan menjadi sebuah lembaga yang bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama harus mendasarkan pula pada kemampuan finansial dan menjaga komitmen anggota gerakan terhadap organisasi gerakan sosial tanpa termuati oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Sementara itu Neil Smelser (dalam Stephan & Stephan, 1985) mengemukakan fase dari munculnya gerakan sosial yang didukung oleh kajian Louis Zurcher dan George Kirkpatrick (Stephan & Stephan, 1985) terhadap gerakan anti pornografi di Amerika tahun 1960, sebagai berikut :
a. Structural Conduciveness
Pada fase ini gerakan sosial akan muncul karena adanya struktur sosial yang tidak kondusif, yang tidak memungkinkan individu atau kelompok masyarakat menyuarakan atau mengekpresikan keinginannya. Dalam kaitannya dengan gerakan anti pornografi di Amerika tahun 1960, pada saat itu muncul sikap konservatif dari masyarakat, jaringan komunikasi antar anggota masyarakat yang baik, serta mulai muncul organisasi anti pronografi.
b. Structural Strain
Pada fase ini terjadi tekanan strktural yang mengarahkan terbentuknya gerakan sosial. Pada kasus gerakan antipornografi, mulai muncul adanya keyakinan bahwa nilai-nilai positif dari kelas menengah akan menghilang, adanya keputusan pengadilan liberal yang mengesahkan amandemen hak kebebasan termasuk masalah pornografi, dan mulai banyak bermunculan tempat yang menyajikan komersialisasi pornografi di masyarakat.
c. Growth & Spread of Generalized Belief
Pada fase ini ada tokoh potensial yang menunmbuhkan dan menyebarkan keyakinan pada masyarakat bahwa ada situasi yang kurang kondusif dan tekanan yang hebat dari masyarakat untuk melakukan perubahan. Pada kasus pornografi, sejumlah anggota masyarakat akan ikut serta dalam gerakan anti-pornografi, karena ada keyakinan moral yang sama bahwa pornografi akan meningkatkan disintegrasi moral dan anggota masyarakat harus bereaksi agar pornografi tidak berkembang akibat keputusan dari Mahkamah Agung yang memperbolehkan pornografi.
d. Precipitating Factors
Gerakan sosial akan muncul dari berbagai peristiwa dramatis yang menggambarkan contoh kongkrit dari problem yang terjadi di masyarakat. Dalam kasus gerakan anti pornografi, ada sejumlah kejadian pencetus munculnya gerakan sosial secara lebih kongkrit, yakni banyaknya koran yang mengekspos pornografi yang dengan mudahnya didapatkan di toko buku, terutama artikel yang memunculkan pornografi dan mulai banyak bioskop yang memutar film dengan adegan porno.
e. Mobilization of Participants
Pada fase ini muncul berbagai bentuk mobilisasi anggota gerakan untuk memprotes berbagai kejadian sebagai pencetus gerakan sosial. Pada kasus gerakan pornografi tsb, ada usaha sebagian masyarakat yang memunculkan petisi penolakan pornografi, mendistribusikan kartu pos yang memprotes pornografi, penguatan keberadaan gerakan anti pornografi, dan penggunaan media untuk mempopulerkan aksi gerakan.
f. Operation of Social Control
Pada fase ini berbagai kejadian dari aktivitas gerakan sosial akan mengarahkan pada kontrol sosial untuk menjaga efek positif dari gerakan. Pada kasus gerakan anti pornografi, kendali sosial mulai muncul karena kelompok mendapat dukungan dari banyak pihak. Kendali sosial lebih ditujukan pada internal organisasi (anggota gerakan) agar tidak bertindak ekstrim, sehingga memunculkan stereotype negatif terhadap gerakan, mencegah potensi munculnya countermovement dan kekerasan yang dilakukan pada mahasiswa di universitas lokal.
Berdasarkan fase-fase tersebut di atas bisa digunakan untuk menjelaskan dinamika munculnya gerakan mahasiswa dalam suatu aksi demonstrasi yang antara lain sebagai berikut :
a. Pada awalnya sekelompok mahasiswa yang peduli akan perlunya perubahan kondisi sosial ke arah yang lebih baik, berkumpul untuk melakukan suatu gerakan sosial dengan tujuan memunculkan suatu isu sosial yang krusial.
b. Kemudian dipilih seorang Koordinator Umum (Kordum), yang bertugas untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan gerakan. Kordum dibantu oleh Sekretaris, Bendahara, Humas, dan Koordinator Lapangan (Korlap). Setelah struktur organisasi terbentuk mulailah diadakan rapat (dengan memberi surat undangan bagi mereka yang dikenal atau diketahui afiliasi politiknya) untuk merancang kegiatan aksi kolektif. Tugas Bendahara adalah mengumpulkan dana yang diperoleh dari orang-orang yang tertarik dengan kegiatan aksi, termasuk simpatisan, baik dosen, aktivis LSM, dan mahasiswa lain. Sedangkan Humas mempunyai tugas vital untuk menyebar luaskan pamflet, press release dan menghubungi berbagai pihak yang terkait dalam aksi demo. Sedangkan tugas Korlap adalah memimpin langsung (pelaksana operasional) kegiatan aksi yang akan dilakukan, termasuk membatasi orang-orang yang boleh untuk memberikan pidato. Tugas Korlap hanya berlangsung dalam sekali kegiatan demo dan akan diganti dengan Korlap lain pada demo berikutnya. Korlap mempunyai anggota khusus yang mengurus berbagai bidang, antara lain : Tim Advokasi, yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan persoalan para anggota demo yang tertangkap aparat kepolisian atau militer. Mereka bekerja sama dengan LBH dari institusi tertentu; Tim Keamanan yang bertugas untuk menghindari terjadinya kekerasan dan provokasi negatif; Tim Lobying ke aparat, yang bertugas untuk meloby ke aparat agar bisa long march ke suatu tempat tertentu;Tim yang menghitung jumlah aparat kepolisian dan militer; Tim Kesehatan yang mengurus anggota aksi yang mengalami serangan fisik atau luka-luka, serta Tim Dokumentasi untuk mendata identitas para pendemo dan membuat foto-foto tentang kejadian aksi.
c. Sebelum hari H, akan dilakukan berbagai rapat yang mengundang para aktivis gerakan mahasiswa. Kemudian ada anggota gerakan yang menandai poster atau pamflet agar tidak terjadi provokasi negatif dan sebagai bukti bila ada kejadian yang tidak diinginkan dalam aksi demo, dengan cara memberi nomor pada setiap pamflet. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya aksi demontrasi yang disalahgunakan oleh oknum tertentu dengan membawa pamflet gelap.
d. Beberapa hari sebelum hari H disebarkan undangan secara luas untuk melakukan aksi. Penyebaran undangan dilakukan untuk menambah maraknya demo, dengan harapan kehadiran aparat militer bisa meningkatkan fluktuasi aksi, sehingga meningkatkan peluang munculnya wartawan untuk meningkatkan penggelembungan isu dan publisitas gerakan di media massa.
e. Pada waktu hari H, yang mempunyai tugas penting adalah Korlap untuk mengorganisasikan aksi di lapangan agar tidak melenceng dari arah kebijakan yang sudah digariskan. Misalnya menghindarkan diri untuk tidak melakukan tindakan brutal terhadap aparat keamanan, seperti melempar batu / sepatu ke aparat dan membatasi infiltrasi orang yang tidak bertanggung jawab dalam aksi. Tugas Korlap tersebut berhenti dalam satu kali demonstrasi, yang kemudian diganti lagi pada aksi berikutnya.
f. Setelah kegiatan demo selesai, maka tugas dari Humas untuk membuat kronologi laporan yang menyangkut proses kegiatan demo. Pembuatan laporan ini kadang didramatisir sedemikian rupa untuk lebih meningkatkan penyebaran isu sosial. Laporan kemudian diserahkan pada berbagai media massa untuk ditayangkan sesegera mungkin.
g. Kegiatan demonstrasi bertahan lama apabila tujuan gerakan belum tercapai. Namun demikian pada kenyataan di lapangan jarang ada gerakan mahasiswa yang melembaga dalam sebuah sistem dan diakui oleh sistem (perguruan tinggi). Selain itu semakin banyaknya tuntutan untuk segera menyelesaikan kuliah dan tugas perkuliahan yang sudah selesai (lulus) membuat aktivis gerakan mahasiswa hanya terhenti pada fase munculnya organisasi, tidak sampai menjadi sebuah lembaga yang permanen.
4. Teori tentang Gerakan Sosial
Ada beberapa teori yang mengulas gerakan sosial, antara lain :
a. Pertama, William Kornhauser (Locher, 2002) pada tahun 1959 mempublikasikan The Politics of Mass Society. Teori Mass Society menjelaskan bahwa organisasi dari sekelompok masyarakat mengarahkan pada pengkategorian perilaku dari para anggota dan pemimpinnya. Dijelaskan lebih lanjut, awalnya muncul sekelompok masyarakat yang terdiri dari warga negara yang merasa teralienasi, kemudian dipengaruhi oleh pemimpin, sehingga kelompok tersebut nantinya potensial menjadi mass society. Konsep mass society mencakup beberapa karakteristik, yakni atomization, access, availability, intermediate groups, mass movement, crisis politics, culture & personality (cultural legitimacy dan psychological factors).
b. Kedua, Samuel Stouffer dan Robert Merton (Locher, 2002) pada tahun 1949 memunculkan istilah relative deprivation untuk membedakan dengan absolute deprivation. Konsep deprivasi relatif ini yang kemudian digunakan oleh Denton Morrison tahun 1971 untuk menjelaskan fenomena gerakan sosial. Morison mengidentifikasikan dua macam deprivasi relatif yang memunculkan gerakan sosial, yakni decremental deprivation dan aspirational deprivation. Decremental deprivation mengarahkan pada model gerakan yang konservatif dan menjunjung hak asasi. Individu yang mengalami deprivasi ini akan mengarahkan pada gerakan yang nasionalis dan facis. Aspirational deprivation mengarahkan gerakan yang liberal dan kekirian, dengan upaya atau cara-cara perubahan yang progresif. Konsep yang dibahas lebih lanjut dalam relative deprivation theory ini antara lain legitimate expectations, blocked expectation, dan discontent.
c. Ketiga, Anthony Oberschall (Locher, 2002) pada tahun 1973 mempublikasikan buku yang berjudul Social Conflict & Social Movements, yang menjadi dasar munculnya teori Resource Mobilization. Fokus teori ini pada proses sosial yang memungkinkan adanya pembentukan dan kesuksesan gerakan sosial. Mobilisasi merupakan sebuah proses pembentukan kerumunan, kelompok, asosiasi, dan organisasi untuk meraih tujuan kolektif. Beberapa orang yang merasa tidak punya kekuatan berkumpul bersama untuk mempengaruhi kebijakan nasional dan regional. Ada beberapa konsep untuk menjelaskan teori ini, yakni resources, organization & leadership, professional social movement organizations, goals, factors encouraging mobilization, dan success.
d. Keempat, Douglas McAdam (Locher, 2002) tahun 1982 dalam buku berjudul Political Process and the Development of Black Insurgency 1930-1970, memunculkan teori Political Process. Mc Adam berargumentasi bahwa teori Mass Society dan Relative Deprivation terlalu fokus pada dinamika psikologi pada pengikut gerakan, sementara teori Resource Mobilization tidak banyak menjelaskan tentang pengaruh lingkungan politik yang memungkinkan terjadinya gerakan. Kajian Political Process Theory lebih mendasarkan pada keseimbangan antara faktor internal dan eksternal sebagai penyebab terjadinya gerakan sosial. Menurut Mc Adam, gerakan sosial dipandang sebagai fenomena politik bukan fenomena psikologis, yang ditunjukkan dari proses yang kontinu dari pembentukan sampai dengan menurunnya gerakan. Ada tiga faktor penting dari pembentukan dan kesuksesan gerakan sosial, yakni organizational strength, cognitive liberation dan political opportunities.
e. Kelima, Neil Smelser (Stephan & Stephan, 1985) mengungkapkan teori value-added yang menjelaskan enam determinan dari perilaku kolektif, yakni structural conduciveness (kemungkinan bagi organisasi gerakan untuk bertahan dalam ruang lingkup sosial dan politik suatu masyarakat), structural strain (adanya ketegangan di dalam struktur kehidupan sosial kemasyarakatan), growth & spread of a generalized belief (tumbuh dan meluasnya keyakinan akan perlunya suatu gerakan social), precipitating factors (adanya factor pencetus munculnya gerakan social, berupa insiden tertentu), mobilization participants (adanya pengumpulan dan meluasnya jumlah anggota yang ingin bergabung dalam gerakan social) dan operation of social control (adanya kepemimpinan dan komunikasi dalam organisasi gerakan social). Konsep Smelser ini kemudian digunakan oleh Louis Zurcher dan George Kirkpatrick untuk menjelaskan gerakan anti pornografi tahun 1960-an.
f. Ke enam : William Gamson (Mirsel, 2004) dalam bukunya The Strategic of Social Protest menerangkan tentang keberhasilan suatu gerakan social terkait erat dengan pencapaian tujuan jangka pendek, struktur birokrasi, dan konsisten menjalankan metode yang melakukan gangguan terus menerus (disruptive mthods) yang digunakan oleh organisasi gerakan social.
g. Ke tujuh : Orum (dalam Allen et al., 1980) mengungkapkan teori tentang faktor penyebab partisipasi individu dalam melakukan gerakan sosial. Partisipasi individu dalam gerakan sosial ditentukan oleh enam variabel penting, yakni : political trust, political efficacy, unstructured work routine, subjective dissatisfaction, subgroup identification dan self esteem. Variabel-variabel inilah yang dianggap menjadi penyebab langsung dan tak langsung pada kuat lemahnya partisipasi individu dalam melakukan gerakan sosial atau unjuk rasa. Selanjutnya Orum (dalam Allen et. al, 1980) mengemukakan bahwa ada empat mekanisme yang mengarahkan seseorang berpartisipasi dalam gerakan sosial, yakni :
1). Afinitas Sosial (Social Affinity)
Mekanisme ini mencakup adanya pengaruh langsung dan tak langsung antara kepercayaan terhadap kondisi politik yang ada (political trust), identifikasi terhadap kelompok gerakan sosial (subgroup indentification), dan partisipasi dalam gerakan sosial. Hal tersebut berarti individu ikut berpartisipasi dalam gerakan sosial karena mereka mengindentifikasikan diri dengan hilai-nilai dan perilaku dalam kelompok gerakan sosial tersebut. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap sistem politik yang ada, namun sebaliknya akan meningkatkan keinginan untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial.
2). Deprivasi (Deprivation)
Mekanisme ini mencakup pengaruh antara ketidakpuasan subjektif (subjective dissatisfaction), kepercayaan terhadap sistem politik yang ada (political trust), serta partisipasi dalam gerakan sosial. Hal tersebut berarti adanya ketidakpuasan subjektif (deprivasi relatif) akan menurunkan tingkat kepercayaan pada sistem politik, sehingga mengarahkan keinginan untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial.
3). Efektifitas Politik (Politically Effective)
Mekanisme ini mencakup keterkaitan antara harga diri (self esteem), kemampuan untuk berperan atau mempengaruhi sistem politik (political efficacy), serta partisipasi dalam gerakan sosial. Hal tersebut berarti individu dengan harga diri yang tinggi cenderung merasa mempunyai kemampuan untuk berperan atau mempengaruhi sistem politik, sehingga mengarahkan mereka untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial.
4). Waktu
Mekanisme ini mencakup hubungan antara skedul kerja yang tidak terstruktur (unstructured work routine) dengan partisipasi individu dalam gerakan sosial. Hal tersebut berarti individu yang mempunyai jadwal kerja yang tidak terstruktur, dianggap lebih mampu untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial, sebab lebih mempunyai waktu yang banyak untuk mengikuti gerakan sosial.
5. Partisipasi Mahasiswa dalam Gerakan Sosial
Searah berkembangnya dunia menuju globalisasi dalam segenap bidang kehidupan, mempunyai dampak positif terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan dalam menghadapi kondisi yang serba modern. Konsekuensi logis dari hal itu adalah bermunculan berbagai lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi yang menjadi pusat pertukaran pengalaman dan pengetahuan, termasuk juga pada politik teroritis dan praktis.
Sebagaimana diketahui, generasi muda khususnya mahasiswa menjadi faktor yang menentukan dalam mewarnai situasi politik di Indonesia. Bertolak dari dimensi historis, mahasiswa memang memiliki posisi strategis, sedang dalam konteks perspektif kehidupan kontemporer mahasiswa memiliki peran strategis (Darmawan dalam Nasri, 1993).
Hal tersebut terbukti bahwa sejak sebelum kemendekaan sampai dengan sekarang, banyak tumbuh pergolakan politik yang dimotori oleh mahasiswa berbagai perguruan tinggi. Hal itu nampak dari meningkatnya berbagai macam unjuk rasa dari mahasiswa tersebut dari tahun ke tahun. Dalam gerakan mahasiswa tersebut tercakup juga protes yang berlatar belakang politis. Bahkan keberadaan dan dinamika mahasiswa dapat menjadi tolok ukur situasi politik di sebuah negara.
Berkaitan dengan hal di atas, menurut Altbach (1988), mahasiswa terutama di negara Dunia Ketiga dalam konteks suatu gerakan mahasiswa pada kurun waktu 1960-an mempunyai peran yang penting sebagai suatu kekuatan sosial politik, karena mereka amat responsif terhadap kondisi suatu struktur sistem politik. Terutama sekali bila dikaitkan dengan tidak berfungsi maksimalnya infrastruktur dan suprastruktur politik pada saat isu krusial terjadi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ada dua fungsi gerakan mahasiswa dalam proses perubahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik.
Hal tersebut didukung oleh pendapat Hagopian (1978) bahwa pada dasarnya studi tentang gerakan (movement) merupakan studi tentang aspek dinamis dari kehidupan politik. Seperti diketahui, semua peristiwa politik selalu mengisyaratkan interaksi segmen sosial, mobilisasi, dan pengorganisasian sosial yang pada akhirnya akan mempengaruhi suatu sistem politik.
Lipset (1968) mencatat berbagai peristiwa yang menunjukkan peran penting gerakan mahasiswa dalam memunculkan suatu perubahan sosial politik suatu negara. Peristiwa tersebut antara lain; Jatuhnya pemerintah diktator Juan Peron di Argentina (1955) ; Perez Jimenez di Venezuela (1958); mendudukkan kembali Ngo Din Diem di Vietnam (1963); melakukan kekerasan dan kekacauan massal untuk merespon terhadap The Japan-USA Securiti Treaty di Jepang tahun 1960, yang memperkuat kembali pemerintahan Kinshi: demonstrasi Oktober 1956 di Polandia; dan gerakan menjatuhkan Soekarno tahun 1966 di Indonesia. Lebih lanjut Lindzey & Aronson (1975) mengungkapkan bahwa karakteristik dari orang yang lebih muda dalam sebuah gerakan social ternyata memunculkan arah dan bentuk gerakan yang radikal dan perubahan yang lebih cepat dibandingkan anggota gerakan yang lebih tua, yang relative lebih konservatif.
Menurut Karis (Bernas, 1992) ada tujuh faktor yang mempengaruhi posisi mahasiswa dalam konstelasi politik nasional, yakni :
a. Perguruan Tinggi sebagai lokomotif transformasi informasi pengetahuan, berperan memberikan daya dorong dan menentukan arah perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai produk sebuah Perguruan Tinggi harus mempunyai kreativitas dalam upaya memberikan alternatif gagasan dalam peran sertanya memenuhi tuntutan pembangunan.
b. Mahasiswa harus menjadi suatu komunitas yang memiliki kepedulian tinggi untuk selalu berada di posisi terdepan dalam segenap poses transformasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
c. Aspek ketiga adalah realisasi tuntutan historis untuk mampu memberi warna pada kondisi perpolitikan bangsa dan negara.
d. Ruang gerak yang diberikan pemerintah pada mahasiswa sebagai sumber daya yang terdidik ternyata menimbulkan kontradiksi bagi Mahasiswa sendiri.
e. Posisi mahasiswa sangat erat kaitannya dengan fungsi integritas suatu bangsa. Oleh karena itu pemerintah berupaya agar kegiatan mahasiswa jangan sampai menjadi sumber instabilitas di masyarakat. Hal tersebut karena kondisi ini akan menjadi sumber konflik antara pemerintah (aparat keamanan) – Pimpinan Perguruan Tinggi – Mahasiswa.
f. Kemampuan mahasiswa dalam merumuskan peran serta mereka dalam memasuki era industrialisasi, dituntut semakin realistis dalam mengantisipasi berbagai kecenderungan perubahan global di satu sisi. Di sisi lain manifestasi peran mereka harus berpijak pada kenyataan yang ada di masyarakat.
g. Pengaruh globalisasi, terutama kecenderungan politik internasional yang kian demokratis, egalitarian, dan partisipatoris, cenderung memberi ruang gerak yang cukup leluasa bagi gerakan mahasiswa. Atau dengan kata lain, bersamaan dengan menguatnya political bargaining pada masyarakat sipil secara keseluruhan akan memicu mahasiswa untuk ikut dalam poses demokratisasi masyarakat.
Adapun faktor pendorong peranan mahasiswa dalam gerakan yang arahnya politis tersebut didasari oleh berbagai karakteristik (Sanit, 1982), antara lain:
a. Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas untuk lebih mampu bergerak di seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut karena mereka lebih dianggap netral, mempertimbangkan moralitas, serta masih mempertahankan idealisme.
b. Mahasiswa merupakan kelompok yang paling lama menduduki bangku sekolah sampai universitas, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang panjang, sehingga diharapkan memiliki pemahaman yang semakin baik tentang persoalan politik.
c. Kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Sebagaimana diketahui dibandingkan dengan lembaga sosial lainnya, maka universitas lebih bermakna dalam pembentukan akulturasi sosial dan budaya di kalangan angkatan muda.
d. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise di dalam masyarakat.
e. Meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda yang tidak terlepas dari perubahan kecenderungan orientasi universitas.
Lebih jauh Baharuddin Lopa (1998) mengemukakan faktor penyebab keikhlasan dan keterbukaan dari kelompok mahasiswa dalam meneruskan perjuangan moral, walaupun mengalami resiko, antara lain :
a. Mahasiswa memiliki kesadaran bahwa mereka perlu bersatu padu berjuang untuk kepentingan reformasi politik, ekonomi, hukum dan reformasi yang lain demi menyelamatkan negara yang sedang mengalami krisis dan kesengsaraan.
b. Mahasiswa umumnya termasuk pada golongan yang bersih, sehingga tidak menghadapi beban mental untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
c. Mahasiswa tidak bisa berharap dan tidak yakin bahwa orang-orang dalam birokrasi dan institusi lainnya akan sepenuh hati untuk merubah keadaan.
d. Mahasiswa umumnya tidak mudah direkayasa untuk dialihkan perhatiannya pada hal-hal atau kegiatan lain karena hanya terikat pada hati nurani.
Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, terlihat bahwa mahasiswa sebagai calon intelektual muda, mau tidak mau harus mampu menunjukkan kualitas intelektual yang antara lain ditentukan oleh seberapa jauh kemampuan pikiran dan ilmunya dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Hal ini merupakan tanggung jawab sosial mahasiswa sebagai penerus proses pembangunan di Indonesia.
Bentuk kepedulian mahasiswa terhadap situasi dan kondisi di masyarakat ditunjukkan dari berbagai gerakan yang dilakukan dengan tujuan memunculkan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejarah pergerakan mahasiswa untuk memunculkan perubahan dapat dilihat pada awal tahun 1966 (Raillon,1989), yang ditandai dengan pergolakan kampus untuk melawan komunisme. Secara lebih gamblang, akan diuraikan sejarah pergerakan gerakan mahasiswa dari tahun 1965 sampai dengan 2004, seperti di bawah ini :
a. Tahun 1965-1966
Konteks sosial politik yang menjadi dasar munculnya gerakan mahasiswa pada tahun ini adalah masalah komunisme. Jalinan hubungan yang baik dengan militer, utamanya Angkatan Darat, membuat mahasiswa mudah untuk memobilisasi gerakan dengan berbagai tuntutan perubahan pada kelahiran Orde Baru. Pada saat itu banyak muncul tokoh mahasiswa, antara lain: Rahman Tolleng, Arief Rachman Hakim, dan Soe Hok Gie.
b. Periode tahun 1970-1972
Pada periode ini untuk sementara waktu, krisis ekonomi berhasil ditangani oleh pemerintahan Orba, namun program pembangunan memunculkan dampak buruk, yakni merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme, pemborosan keuangan negara, utang yang semakin besar dan munculnya bentuk pemerintahan yang otoriter. Akhirnya gerakan mahasiswa muncul lagi, walaupun dalam bentuk kelompok-kelompok kecil (komite). Arah gerakan tidak lagi pada keinginan memunculkan perubahan sosial, namun lebih mengarah pada gerakan moral (korektif). Tokoh yang terkenal dalam gerakan ini, antara lain Arief Budiman.
c. Periode tahun 1974-1978
Pada periode ini yang banyak terjadi adalah meruaknya kasus korupsi di Pertamina (Pertamina Gate) dan munculnya rivalitas Soemitro dan Ali Murtopo yang memuncak pada saat peristiwa Malari. Pada kurun waktu tsb, gerakan mahasiswa yang sifatnya korektif bergeser kembali menjadi gerakan yang mengarah pada perubahan sosial. Gerakan mahasiswa pada kurun waktu ini nampak lebih radikal dengan peristiwa MALARI. Akibatnya muncul aturan pemerintah untuk membekukan seluruh lembaga kemahasiswaan yang bercokol pada saat itu yang kemudian dipertegas dengan keputusan Mendikbud saat itu tentang NKK/BKK. Kebijakan ini dalam beberapa tahun telah membungkam mahasiswa, sehingga membuat kampus tidak lagi terkooptasi oleh masalah politik. Kebijakan yang kontroversial inilah yang menjadi isu sentral unjuk rasa mahasiswa dalam bentuk kelompok diskusi dan pers kampus.
d. Periode tahun 1990-1995
Gerakan mahasiswa mulai tumbuh lagi untuk mempertanyakan tentang adanya kesenjangan ekonomi, utang negara yang semakin menumpuk, kebencian pada otoriterisme ORBA, semakin merajalelanya korupsi-kolusi-nepotisme dan keinginan akan keterbukaan dan kebebasan. Hal lain yang mempengaruhi gerakan mahasiswa pada periode ini adalah gelombang demokratisasi yang melanda dunia yang ditandai dengan munculnya konsep glastnost-perestroika dari M Gorbachev. Gerakan mahasiswa pada saat ini berorientasi pada keinginan adanya perubahan sosial, sekaligus mengarah pada keinginan lebih berperanserta dalam konteks politik, seperti yang dilakukan Partai Rakyat Demokratik.
e. Periode 1996 – 2004
Pada periode ini hal penting yang dilakukan oleh mahasiswa adalah menginginkan adanya perubahan kepemimpinan Presiden Soeharto yang dianggap tidak menimbulkan perubahan di Indonesia. Pada periode ini pula banyak sekali gerakan atau mobilisasi mahasiswa dilakukan, baik dalam bentuk yang konstruktif maupun destruktif. Ujung dari perjuangan itu nampak dari kesuksesan mahasiswa menumbangkan simbol ORBA yang banyak dikenal dengan sebutan gerakan reformasi. Namun demikian euforia dari gerakan ini menyebabkan kurang tuntasnya perjuangan mahasiswa yang tidak sampai pada sebuah perubahan yang sebenarnya. Banyak mahasiswa yang kemudian balik kembali ke kampus karena merasa sudah mendapatkan keinginannya. Pada awal Pemilu 2004 kalaupun ada gerakan mahasiswa yang kembali menyuarakan ketidakadilan dan berbagai seruan moral, tapi banyak pula gerakan mahasiswa yang bersinergi dengan afiliasi politik tertentu.
Hal-hal tersebut di atas menggambarkan sejarah dan bentuk perjuangan mahasiswa yang diungkapkan melalui suatu gerakan yang mempunyai suatu tujuan, struktur, dan ikatan tertentu. Dasar-dasar dari gerakan mahasiswa dari waktu ke-waktu selalu berubah mengikuti situasi dan kondisi perkembangan global serta nasional.
Lebih jauh lagi ternyata ada karakteristik khas dari mahasiswa yang aktif melakukan gerakan, seperti yang diungkapkan di bawah ini :
a. Hasil penelitian Baird (Sarwono, 1978), pada mahasiswa perguruan tinggi di Amerika Serikat menemukan bahwa karakteristik mahasiswa aktivis gerakan antara lain : lebih independen, artistik, ekspresif, dan service oriented; keadaan keluarga aktivis umumnya menyenangkan dan memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh pendidikan meskipun tidak kaya; sebelum mereka menjadi mahasiswa ternyata sudah aktif pada sekolah sebelumnya dan umumnya sudah berbakat aktivis (talented to be activists); lebih praktis dan kurang romantis; tidak kurang dogmatis dan tidak kurang religius; tidak merasa teralienasi; tidak menonjol dalam prestasi akademis namun menonjol dalam aktivitas non-akademik.
b. Hasil penelitian Lipset (Sarwono, 1978), menyimpulkan bahwa mahasiswa aktivis memiliki sifat tertentu yang membedakan dengan mahasiswa non-aktivis, yakni : aktivis yang beraliran kiri berasal dari orang tua yang juga beraliran kiri dan mereka lebih radikal daripada orang tua mereka; berasal dari keluarga intelek; berasal dari fakultas ilmu sosial dan humaniora; berasal dari keluarga berada; lebih banyak beragama Yahudi dan tidak beragama.
c. R. Flack (Sarwono, 1978), menemukan ciri pribadi dan latar belakang sosial dari mahasiswa aktivis, antara lain : berasal dari perguruan tinggi terkemuka; jarang prestasi akademisnya kurang dari rata-rata; kemampuan dan minat aktivis lebih cenderung pada bidang akademis; berasal dari keluarga berada, berpendidikan tinggi dan berstatus sosial tinggi; lebih sekuler dan umumnya berasal dari keluarga religius; orang tua aktivis cenderung liberal; sekularisme dan liberalisme merupakan cerminan dari nilai-nilai dasar yang dianut keluarga dan diteruskan kepada anak-anaknya; berasal dari keluarga yang memberlakukan pendidikan yang demokratis dan egalitarian.
B. Faktor-faktor Penyebab Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Partisipasi menunjukkan kontribusi yang diberikan individu dalam bentuk waktu, aktivitas dan uang individu dalam melakukan gerakan sosial. Konsep partisipasi banyak dimunculkan dengan berbagai istilah, antara lain : citizen participation (Levi & Litwin serta Wandersman & Florin dalam Duffy & Wong, 2003), yakni keikutsertaan seseorang dalam aktivitas organisasi tanpa dibayar dengan harapan mencapai sebuah tujuan tertentu; enpowerment (Rappaport, Swift & Hess dalam Duffy & Wong, 2003), yakni individu melakukan berbagai pemberdayaan terhadap kelompok masyarakat yang membutuhkan atau mengalami masalah sosial; grass-roots activism (Alinsky dalam Duffy & Wong, 2003), yakni individu memunculkan issue tertentu dan menekan adanya perubahan sosial dan memilih bekerja dengan cara bottom-up daripada top-down ; self-help (Christensen&Robinson dalam Duffy & Wong, 2003), yakni individu dengan isu tertentu datang bersama untuk membantu dan memberi dukungan emosional pada individu yang lain.
Selanjutnya menurut Duffy & Wong (2003), berbagai bentuk partisipasi warga negara, antara lain : voting, signing a petition, donating money or time to a cause, reading media articles on community needs or change, boycotting environmentally unsound product, being interviewed for a community survey, joining a self-help group, participating in question-answer session or debate, serving on an ad hoc committee or task force, participating in sit-ins and marches, leading a grass roots activist group in the community, doing volunteer work in the community, conducting fund-raising for a community service, offering consultation service, and serving in public office or supporting a particular candidate.
Sementara itu Almond & Verba (1973) mengungkapkan partisipasi warga Negara bisa dalam bentuk partisipasi aktif dalam komunitas (active participation in local in local community) dalam bentuk mengambil bagian dalam aktivitas pemerintahan local, aktivitas partai politik, aktivitas di luar pemerintahan dan organisasi yang tertarik pada urusan pemerintahan local; aktivitas komunitas pasif (more passive community activities) berupa mencoba pemahami dan mencari informasi tentang persoalan pemerintahan, ikut pemilu, dan tetap tertarik untuk mencari tahu perkembangan suatu persoalan yang terjadi di masyarakat; serta berpartisipasi pada aktivitas keagamaan (participation in church an religious activities).
Henry E. Brady et al. (1995) mengemukakan beberap aktivitas yang tergolong sebagai partisipasi politik, yakni : ikut pemilu Presiden, melakukan kontak dengan pejabat pemerintah lokal dan federal, menyumbang dana untuk kampanye kandidat Presiden, bekerja dalam suatu organisasi informal untuk mengatasi berbagai problem di komunitas atau masyarakat, aktif dalam kampanye, mengikuti protes terhadap pemerintahan dan menjadi anggota atau mengikuti pertemuan rutin suatu organisasi.
Sementara itu Sherkat & Blocker (1997) mengungkapkan sembilan aktivitas politik yakni mempengaruhi orang untuk memiliki pandangan politik tertentu, voting, bekerja dengan kandidat presiden, memakai kancing dan memasang stiker kandidat partai tertentu, memberikan kontribusi uang, menulis surat atau berdiskusi dengan pejabat publik, menulis di koran, berpartisipasi dalam demonstrasi atau bekerja dengan orang lain untuk menyelesaikan problem yang terjadi di masyarakat.
Maroelak Sihombing (Wibawa, 1992) mengemukakan bahwa partisipasi berarti keikutsertaan setiap orang dalam upaya, pelaksanaan, pengawasan dalam menguasai alat dan memelihara alat, bukan melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan dan diputuskan orang lain atau kelompok lain.
Definisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Keith Davis (1967) yaitu:”… is defined as mental and emotional involvement of a person in group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibiliy in them”.
Berdasarkan definisi di atas ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam partisipasi yaitu:
a. Partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosi
b. Bertujuan memotivasi orang-orang untuk mendukung situasi kelompoknya, dalam arti mereka menyumbangkan inisiatif dan kreativitas untuk mencapai sasaran kelompok.
c. Mendorong orang untuk merasa ikut bertanggung jawab atas aktivitas kelompok.
Lebih lanjut Montero (dalam Fox & Prileltensky, 1999), menekankan bahwa partisipasi adalah aktivitas individu yang dilakukan dengan sukarela oleh warga negara dengan tujuan untuk mempengaruhi pilihan politik secara langsung dan tidak langsung pada berbagai tingkatan sistem politik. Aktivitas tersebut berupa demonstrasi, mengambil alih bangunan publik, dan mengunci sebuah tempat tertentu. Sedangkan Sabucedo (dalam Fox & Prileltensky, 1999) mendefinisikan partisipasi politik sebagai perilaku individu atau kelompok yang bertujuan meraih pengaruh dalam pengambilan keputusan politik.
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari berbagai definisi yang telah dikemukakan di atas, yakni :
a. Esensi dari partisipasi adalah keterlibatan dalam kegiatan penyusunan rencana, pelaksanaan, keterlibatan dalam memikul beban (resiko), tanggung jawab, dan keikutsertaan untuk menerima manfaat dari hasil program.
b. Di samping itu, ditunjukkan pula dengan indikator hasil perbuatan yang dapat menunjukkan adanya sikap tersebut meskipun terbatas. Indikator dimaksud adalah kualitas keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan suatu aktivitas / program.
c. Hal lain yang juga menjadi indikator tingkat partisipasi adalah tingkat keterlibatan dalam menikmati hasil program.
Matulessy (1997) mengungkapkan bahwa partisipasi dalam melakukan gerakan sosial (demonstrasi) ditentukan beberapa hal yakni :
a. Keikutsertaan dalam demo (ikut demonstrasi/ tidak, berapa kali ikut, peran dalam demonstrasi, dorongan untuk demonstrasi).
b. Sumbangan dalam demonstrasi (waktu, tenaga, pikiran, dan uang)
c. Pengambilan resiko dalam demonstrasi (keberanian melawan aparat, ditangkap / tidak, berapa kali ditangkap).
d. Pengetahuan tentang permasalahan dalam demonstrasi (pengetahuan akan kegiatan gerakan, persoalan yang menjadi isu gerakan).
Sementara itu Klandermans (dalam Mc Veigh, 1998) mengungkapkan partisipasi dalam gerakan protes melewati beberapa proses antara lain : adanya simpati terhadap tujuan dari gerakan, menjadi target dalam mobilisasi aksi, termotivasi untuk berpartisipasi dan terakhir berpartisipasi secara penuh. Lebih lanjut Klandermans (2005) menyebutkan bahwa partisipasi dalam gerakan sosial mencakup keterlibatan dalam kegiatan yang kongkrit dan spesifik, antara lain: mengikuti rapat umum atau demonstrasi, menyumbang sejumlah uang, bergabung dalam barisan pemogokan, atau menjadi staf kantor. Jadi ada sebuah proses yang panjang yang mengarahkan pada pembentukan yang tidak mudah (instant) untuk menjadi aktivis sebuah gerakan mahasiswa. Lebih jauh dikatakan oleh Klandermans (2005) bahwa partisipan dalam gerakan sosial memiliki ciri-ciri : aktif, memiliki pengetahuan yang cukup, ada tekad untuk mencapai perubahan sosial dan berkomitmen terhadap tujuan kolektif gerakan sosial.
Selanjutnya Muller dan Grofman & Muller (dalam Rey & Raju, 1996) membuat skala yang mengukur partisipasi dalam protes politik yang mencakup 5 jenis aksi protes, yakni : penerimaan / kesetujuan pada aksi kekerasan, akan berpartisipasi dalam aksi protes, pernah berpartisipasi dalam aksi protes, dan memiliki keyakinan bahwa aksi protes tsb efektif memberikan perubahan hubungan antar kelompok.
Lebih detail lagi Aie-Rie Lee (1997) mengukur partisipasi mahasiswa dalam kegiatan demonstrasi di Korea Selatan yang mencakup 9 pertanyaan antara lain : Berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa (1); Mengikuti kelompok studi yang mempelajari tentang ideologi revolusioner (2);Bergabung dalam kelompok seni peran di kampus (teater) (3); Bergabung dalam kelompok studi yang senang berdiskusi semalaman (4); Berpartisipasi dalam aksi solidaritas mahasiswa untuk buruh (5); Berpartisipasi dalam demonstrasi di dalam kampus (6); Berpartisipasi dalam demonstrasi di kampus lain (7); Menempati bangunan kampus (8), serta mengikuti aktivitas kelompok yang berseberangan dengan agama (9).
Partisipasi dalam gerakan sosial banyak bersangkut paut dengan sistem politik. Sebagaimana ungkapan Suharsih dan Mahendra (2007) bahwa gerakan mahasiswa bisa menjadi bagian dari gerakan sosial ataupun berkembang menjadi gerakan politik. Oleh karena itu perlu diulas lebih lanjut konsep politik dan sistem politik. Peranan mahasiswa dalam integrasi politik erat dengan jalur vertikal dan horisontal (Sjamsudin, 1993). Jalur vertikal mahasiswa dalam kaitannya dengan politik adalah menjadi perantara di dalam komunikasi elit politik dengan massa. Di sini mahasiswa memainkan peranan penting dalam menjembatani kesenjangan politik tersebut dengan cara memberi masukan pada elit politik dan massa tersebut. Sementara itu jalur horisontal pada dasarnya adalah mencakup peran mahasiswa dalam menjauhkan kesenjangan politik yang ditimbulkan oleh faktor horisontal, misalnya memperkecil timbulnya atau meluasnya pertentangan primordial dalam masyarakat.
Sebagaimana diketahui individu pada dasarnya adalah manusia politik / zoon politicon (Faturohman dan Sobari, 2004) artinya kekuasaan pada dasarnya melekat secara inheren dalam diri individu. Setiap manusia memiliki keinginan untuk menguasai, mulai dari menguasai diri sendiri, berkuasa dalam sebuah keluarga, masyarkat, organisasi kecil sampai dengan organisasi besar yang bernama negara. Kekuasaan berarti kemampuan mempengaruhi orang lain dalam suatu interaksi agar bisa mencapai tujuan secara pribadi maupun kelompoknya. Oleh karena itu kekuasaan bisa diartikan kemampuan seseorang untuk memunculkan daya paksa dengan mengendalikan orang lain. Oleh karena itu kekuasaan memiliki karakteristik hirarkis dan piramida. Secara hirarkis kekuasaan akan menjadi simbol sosial terkait dengan struktur sosial yang lebih tinggi, sebagai subjek kekuasaan dan bukan sebagai objek dari kekuasaan (the ruler and the ruled). Di samping itu secara piramida, kekuasaan berarti menempati posisi elit yang secara kuantitas kecil, namun memiliki kapabilitas yang kuat dan solid, sehingga bisa memberikan perintah dan pengaruh yang efektif terhadap kelompok massa tertentu. Jadi kajian politik tidak lepas dari konsep tentang kekuasaan.
Ada beberapa konsep dan pengertian dari politik, antara lain : Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1996) mendefinisikan politik sebagai segala macam urusan ketata-negaraan yang menyangkut pengaturan pemerintahan yang di dalamnya termasuk sistem, kebijaksanaan, serta siasat, baik terhadap urusan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu politik juga didefinisikan sebagai akal, siasat atau tipu muslihat. Harold D Lasswell (dalam Masdar dkk,1999) mendefinisikan politik adalah soal tentang siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana.
Selanjutnya menurut Masdar dkk (1999), esensi dari politik adalah konflik, karena politik berkaitan dengan mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan. Sementara itu kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain agar sesuai dengan keinginan dan tujuan dari seseorang atau kelompok yang berkuasa.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang konsep politik dan sistem politik, akan diulas pandangan Surbakti (1992) yang menyatakan bahwa ada tiga cara yang digunakan untuk menjelaskan pengertian politik, yakni :
a. Mengidentifikasikan kategori-kategori aktivitas yang mementuk (konflik sebagai esensi politik)
b. Menyusun suatu rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikaegorikan sebagai politik (politik sebagai siapa mendapat apa, kapan dan dimana)
c. Menyusun daftar pertanyaan yang harus dijawab dalam memahami politik.
Sementara itu dinyatakan pula oleh Surbakti (1992) ada lima pandangan tentang politik, yakni.
a. Politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.
b. Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah.
c. Politik sebagai hal kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dan masyarakat.
d. Politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.
e. Politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Dalam hubungannya dengan sistem politik maka digunakan ulasan Mas’oed & MacAndrews (1986), yang mengungkapkan faktor-faktor yang membangun sistem politik, yakni : badan eksekutif, badan legislatif, badan yudikatif, partai-partai politik, birokrasi dan kelompok kepentingan. Komponen-komponen struktur tersebut yang dimiliki oleh sistem politik suatu negara.
Mas’oed & MacAndrews (1986) menyatakan bahwa partisipasi politik berupa demonstrasi, protes dan tindak kekerasan ini biasanya dipergunakan individu untuk mempengaruhi kehidupan politik dan kebijaksanaan pemerintahan, bila bentuk aktivitas lain tidak bisa dilakukan atau tidak efektif. Sementara itu Kevin R Hardwick (Faturohman dan Sobari, 2004) mengemukakan bahwa partisipasi politik berarti memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan mereka pada pejabat publik dengan harapan bisa mewujudkan kepentingan tsb. Hal tsb berarti partisipasi politik mencakup adanya interaksi antara warga negara dengan pemerintah dan ada usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik untuk mencapai tujuan tertentu. Huntington dan Nelson (Faturohman & Sobari, 2004) mengemukakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Konsep partisipasi politik tsb berarti tidak hanya sekedar sikap atau keyakinan, namun berupa kegiatan atau aktivitas yang dilakukan warga negara biasa dengan tujuan untuk mempengaruhi kebijakan publik yang mau tidak mau terkait juga dengan kepentingan diri atau kelompoknya.
Kategorisasi aktivitas seseorang termasuk sebagai partisipasi politik atau tidak, tergantung dari beberapa batasan antara lain seperti yang dikemukakan oleh Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson (dalam Faturohman dan Sobari, 2004), yakni :
a. Partisipasi politik menyangkut aktivitas atau kegiatan dan tidak hanya sikap atau keyakinan.
b. Partisipasi politik dilakukan secara perorangan sebagai warga negara sipil yang berbeda dengan profesional di bidang politik seperti pejabat pemerintah, pejabat partai politik, dsb.
c. Partisipasi politik terkait dengan kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari pemerintah,utamanya pejabat yang berwewenang mengambil keputusan final tentangb suatu kebijakan.
d. Partisipasi politik menyangkut semua kegiatan yang mempengaruhi kegiatan pemerintah dan tidak tergantung pada efek dari partisipasi tsb (berhasil atau tidak).
e. Partisipasi politik melibatkan partisipan yang otonom,yang mempengaruhi langsung pada kebijakan pemerintah dan partisipan yang dimobilisasikan untuk meningkatkan pengaruh pada pengambilan kebijakan politik.
Ada berbagai bentuk partisipasi politik menurut Milbrath M.L. Goel (dalam Faturohman dan Sobari, 2004), yakni :
a. Aphatetic Inactives : individu tidak berpartisipasi aktif, misalnya yang dilakukan oleh Golput.
b. Passive Supporters : ikut Pemilu secara reguler, menghadiri parade yang terkait dengan negara, membayar pajak dan mencintai negara.
c. Contact Specialist : seseorang yang menjadi pejabat penghubung lokal (daerah) untuk mengatasi masalah tertentu.
d. Communicators : individu yang mengikuti informasi perkembangan politik, terlibat dalam diskusi politik, menulis di media, dan memberi dukungan atau protes pada pemimpin politik.
e. Party and Campaign Workers : seseorang yang bekerja untuk partai politi atau kandidat pemimpin politik tertentu, meyakinkan orang lain untuk memilih, menghadiri pertemuan politik, menyumbang uang pada partai politik atau kandidat pemimpin tertentu, bergabung dan mendukung partai politik tertentu, dan memiliki keinginan untuk dipilih menjadi kandidat partai politik.
f. Community Activist : seseorang yang bekerja dengan orang lain untuk menangani persoalan lokal, membentuk kelompok tertentu, aktif dalam organisasi kemasyarakatan, memiliki kontak dengan pejabat tertentu terkait dengan isu tertentu.
g. Protesters : seseorang yang bergabung dalam demonstrasi di jalanan, kadang melakukan kerusuhan, memprotes kebijakan yang salah dari pemerintah, menghadiri pertemuan yang membicarakan protes terhadap pemerintahan dan menolak mematuhi aturan / kebijakan yang dianggap bertentangan dengan hati nuraninya.
Dalam kaitannya partisipasi politik mahasiswa, E. Wight Bakke (dalam Haryanto, 1987) berpendapat bahwa munculnya gerakan mahasiswa dalam konteks perilaku kolektif muncul karena isu krusial yang disebabkan oleh aspek fluktuatif dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta aspek spotanitas, sehingga terjadi suatu partisipasi politik non-rutin (demonstrasi, unjuk rasa, boikot). Selain itu kondisi yang tidak menyenangkan itulah yang mengarahkan mahasiswa untuk mengadakan aksi protes, karena mereka tidak bisa lepas dari rasa frustasi dan posisinya sebagai sosok intelektual muda. Adanya idealisme sebagai calon intelektual itulah maka melihat ketimpangan-ketimpangan dalam realitas masyarakat bisa menimbulkan rasa frustasi. Rasa frustasi yang didorong pula oleh semangat khas anak muda menyebabkan kecenderungan protes yang semakin besar (Sarlito dalam Himmah, 1995).
Ada berbagai teori yang mengulas tentang berbagai faktor penyebab terjadinya partisipasi dalam gerakan sosial. Salah satu teori yang muncul adalah teori satu dimensi (one dimentional theory), yang mengidentifikasikan faktor penyebab dari gerakan sosial, yakni :
a. Ketidakmantapan status (Inconsistency Status) (Geschwender, 1967; Orum, 1974; Allen et al., 1980).
Ketidakmantapan status terjadi bila individu yang mempunyai berbagai macam status dalam kehidupannya yang didasarkan oleh berbagai hal, seperti pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan kebangsaan. Setiap individu ingin mengembangkan konfigurasi status yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun demikian apabila terjadi hambatan dalam pencapaian macam status tersebut, cenderung akan mengarahkan individu untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan sosial. Ketidakjelasan peran sebagai mahasiswa memudahkan mahasiswa untuk membuat sebuah gerakan.
b. Deprivasi Kumulatif (Cummulative Deprivasion) ( Legett, 1964 ; Zeitlin, 966; Allen et al., 1980)
Deprivasi kumulatif cenderung mencakup ketidakpuasan dalam masalah ekonomi. Artinya ketika seseorang dalam kondisi ekonomi yang miskin menjadi lebih miskin, maka akan terjadi ketidakpuasan dan ketidaknyamanan, yang lama kelamaan akan terakumulasi, sehingga akan lebih mudah mengarahkan individu untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial.
c. Deprivasi Relatif (Relative Deprivasion) (Davies, 1962; Gurr, 1972; Allen et.al., 1980).
Deprivasi relatif berhubungan erat dengan meningkatnya kesenjangan antara sesuatu yang ingin didapatkan dengan sesuatu yang secara aktual mereka dapatkan. Semakin tinggi tingkat kesenjangan antara kedua hal tersebut, akan mengarahkan keinginan untuk melakukan gerakan sosial.
d. Peningkatan Pengharapan (Raising Expectation) (Allen et al, 1980)
Peningkatan pengharapan muncul karena adanya ambisi untuk memenuhi aspirasi untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi. Adanya ketikmampuan mendapatkan hal tersebut akan mengarahkan individu untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial. Semakin tinggi tingkat kesenjangan antara kedua hal tersebut, akan mengarahkan keinginan untuk melakukan gerakan sosial. Adanya harapan yang tinggi pada sistem politik karena masih tingginya idealisme orang muda, ternyata tidak diimbangi oleh perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini akan memudahkan percikan munculnya gerakan mahasiswa.
e. Isolasi (Koren Hause, 1959)
Isolasi merupakan pemisahan secara sosial, seseorang atau suatu kelompok dari individu atau kelompok yang lain. Individu atau kelompok yang diisolasikan ini akan cenderung untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial. Mahasiswa di satu sisi dianggap sebagai kelompok elit yang akan menjadi tulang punggung estafet pembangunan negara. Namun di sisi lain berbagai gerakan yang dilakukan mahasiswa dianggap masyarakat menciptakan instabilitas, sehingga sistem sosial mengisolasi kelompok aktivis gerakan pada kelompok marjinal yang harus dijauhi.
Sedangkan Wiggins dkk (1994) menyatakan bahwa faktor penyebab dari munculnya gerakan sosial mencakup tiga tujuan utama, yakni:
a. Melarikan diri dari budaya yang dominan (Escape the dominant culture). Dominansi dari sebuah peradaban atau sistem akan menciptakan marjinalisasi kelompok budaya yang lain. Tekanan struktur seperti itu akan menyebabkan keinginan yang besar untuk melarikan diri dari kekuasaan agar terhindar dari himpitan yang lebih besar.
b. Mengadakan perubahan terhadap budaya yang dominan (changing the dominant culture). Kadang-kadang tekanan dari sebuah sistem bisa menciptakan perlawanan untuk melakukan sebuah perubahan, untuk mengurangi rasa frustasi dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan psikologis.
c. Menentang perubahan dalam budaya yang dominan (resisting a change in the dominant culture/ countermovements). Adanya perubahan belum tentu mendapatkan respon yang positif. Ada kelompok-kelompok tertentu dalam sistem yang tidak menginginkan adanya perubahan. Hal tersebut karena perubahan dianggap mengganggu kelanggengan dari sebuah sistem yang sudah dianggap ideal oleh sebagian besar masyarakat.
Sementara itu Orum (dalam Allen, et al, 1980) menjelaskan tujuh variabel yang berkaitan dengan munculnya partisipasi dalam gerakan sosial, antara lain :
a. Political Trust ; Variabel ini menunjukkan kepercayaan individu terhadap sistem politik yang ada, apakah memberi kepuasan atau tidak. Jadi political trust dapat diartikan sebagai kepercayaan individu terhadap komponen-komponen sistem politik yang berlaku saat ini.
b. Political Efficacy ; variabel ini menunjukkan kepercayan bahwa seseorang akan dapat mempengaruhi sistem politik yang ada.
c. Unstructured Study Routine : variabel ini menunjukkan sejumlah fleksibelitas untuk menentukan kapan seseorang akan kuliah.Konsep jadwal kerja yang tidak terstruktur ini berkaitan dengan waktu untuk melakukan kegiatan lain selain kuliah. Hal ini ditandai dengan adanya dua hal mendasar yakni : fleksibilitas untuk menentukan kapan seseorang berkegiatan di kampus, dan mempunyai waktu yang banyak untuk berkegiatan di luar kampus. Artinya individu dapat dikatakan fleksibel dalam perkuliahan bila mereka tidak kaku dalam penjadwalan perkuliahan dan mampu mengalokasikan waktu untuk melakukan kegiatan di luar kampus. Dengan kata lain orang yang mempunyai waktu yang banya untuk melakukan gerakan sosial/demo (Orum dalam Allen et al., 1990). Sedangkan individu yang kaku dalam menentukan waktu perkuliahan akan cenderung tidak mampu membagi untuk digunakan berpartisipasi dalam gerakan sosial. Penelitian lain menemukan pula bahwa, individu yang sibuk cenderung lebih memberikan kontribusi waktu dan energi dalam kegiatan gerakan sosial dibandingkan orang yang tidak sibuk (Oliver, 1984).
d. Subjective Dissastisfaction : Variabel ini menunjukkan kepercayaan bahwa seseorang diperhatikan kekurangan yang ada pada dirinya. Atau dengan kata lain adanya perbedaan yang besar antara harapan dan kenyataan yang diperoleh. Ketidakpuasan subjektif ini berkaitan erat dengan konsep deprivasi relatif, yakni adanya perasaan kekurangan individu akan berbagai hal yang menyangkut kehidupan sosialnya, atau lebih khusus lagi meningkatnya jarak sosial antara perasaan individu tentang apa yang ingin ia dapatkan dengan apa yang secara aktual ia dapatkan (Geschwender, 1968).
e. Collective Identification: variabel ini menunjukkan sedikit banyaknya kesadaran untuk mengidentifikasikan diri dengan subgrup yang melakukan gerakan sosial. Istilah identifikasi subgroup pada pembahasan berikutnya diganti dengan istilah identifikasi kolektif. Sebagaimana diketahui gerakan mahasiswa merupakan salah satu bentuk perilaku kolektif. Ditambah lagi menurut Tajfel dalam teori identitas sosial (Virianita dkk, 2003) dikemukakan bahwa partisipasi dalam gerakan sosial dipengaruhi oleh identifikasi kolektif dan keyakinan subyektif tentang permeabilitas kelompok. Sementara itu menurut teori identitas sosial dari Tajfel (Virianita dkk, 2003), identitas seseorang merupakan hal yang penting dalam memahami kelompok. Identitas sosial diartikan sebagai pengetahuan seseorang bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok sosial tertentu dan menganut emosi serta nilai yang bermakna dengan kelompok.
Proses identifikasi terjadi bila individu mendapatkan kepuasan dalam membina hubungan dengan individu atau kelompok yang ada (Brigham, 1991). Secara lebih luas identifikasi kolektif mencakup berbagai hal, yakni : adanya keinginan untuk berinteraksi dengan kelompok (kelompok pengunjuk rasa); keinginan untuk meniru kelompok; pandangan yang positif terhadap kelompok; keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang segala hal yang berhubungan dengan kelompok; keinginan untuk mendapatkan hasil yang positif dari kegiatan kelompok (Cook, 1995).
f. Collective Self Esteem : variabel ini menunjukkan perasaan berharga individu dalam kelompok.Dalam kaitannya dengan gerakan sosial, maka konsep harga diri yang digunakan bukanlah personal self esteem, namun collective self esteem. Hal tersebut sesuai dengan pandangan dari Crocker & Luhtanen (Faturochman, 1999) yang mengkritik teori identitas sosial dari Tajfel yang hanya membahas identitas sosial, identitas personal dan personal self esteem. Padahal individu yang berada dalam kelompok seharusnya menggunakan konsep collective self esteem daripada personal self esteem secara pararel dengan identitas personal dan sosial.
Individu dengan ciri harga diri yang tinggi akan menyukai dirinya dan memandang dirinya kompeten, dalam hubungannya dengan dunia yang dipersepsikannya (Cohen et.al. dalam Mischel & Mische, 1973). Sedangkan Frey & Carlock (1987) mengungkapkan bahwa orang yang mempunyai harga diri tinggi, mampu menghargai dan menghormati dirinya sendiri, berpandangan dirinya sejajar dengan yang lainnya, cenderung tidak menjadi sempurna, mereka mengenali keterbatasannya, serta berharap untuk tumbuh.
Individu dengan harga diri rendah memiliki karakteristik; merasa rendah diri, lemah, tidak berdaya, malu-malu, benci pada dirinya sendiri, patuh, menganggap segala ketidak-enakan sebagai suatu yang menekan dirinya, tidak berani bertindak, serta lekas marah (Daradjat, 1985). Sementara Fitch (1972) menyatakan bahwa seseorang dengan harga diri yang rendah biasanya tidak menyukai dirinya, menghinakan dirinya, dan menganggap dirinya tidak cakap menghadapi lingkungan secara tidak efektif. Sedangkan Michael et.al (Vardhati, 1988) menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya perasaan harga diri rendah adalah perhatian individu terfokus pada karakteristik negatifnya.
Sementara itu menurut Crocker dan Luhtanen (dalam Faturochman, 1999) harga diri kolektif yang menengah membuat individu mampu menjaga identitas sosialnya dari ancaman. Sedangkan individu yang memiliki high collective self esteem menunjukkan ingroup bias ketika kelompok kolektif (crowd) dihadapkan pada bahaya yang mengancam identitas kolektifnya.
C. Relative Deprivation
Istilah deprivasi relatif awal mulanya dimunculkan oleh penulis The American Soldier, Samuel A. Stouffer (Runciman,1966) saat melakukan studi psikologi sosial pada skala besar pada serdadu Amerika yang bertugas di Perang Dunia ke dua. Memang pada saat itu belum ada definisi yang tegas tentang deprivasi relatif, namun demikian bisa dipahami dari penggambaran tentang sebuah problem. Stouffer menggambarkan bahwa bila seseorang (A) tidak memiliki sesuatu yang diinginkan, akan membandingkan dengan orang lain (B) yang memiliki sesuatu yang diinginkan A. A kemudian akan mengalami deprivasi relatif dengan referensi dari B. Begitu sebaliknya bila hal itu terjadi pada B dengan acuan atau referensi dari A.
Ted Robert Gurr (Sihombing, 2005) memaknai deprivasi relatif sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expentations) dengan kapabilitas nilai (value capabilities). Individu yang menaikkan nilai harapan tanpa meningkatkan nilai kapabilitas secara proporsional dan sebanding,maka akan menimbulkan kekecewaan atau ketidakpuasan. Pada akhirnya deperivasi relatif yang dialami oleh orang-orang pada suatu komunitas tertentu akan mengarahkan pada aksi kekerasan. Selanjutnya menurut Gurr (Abidin, 2005), ada tiga bentuk dari deprivasi relatif, yakni: a. Decremental deprivation, yakni deprivasi yang terjadi karena nilai ekpektasi yang diharapkan relatif konstan, sementara itu kemampuan (kapabilitas) untuk mewujudkan sesuatu yang diharapkan cenderung menurun; b. Aspirational deprivation, yakni perasaan kekurangan yang terjadi saat kapabilitas individu cenderung tetap, sedang tingkat harapan akan sesuatu cenderung meningkat; c. Progressive deprivation, yakni perasaan kekurangan yang terjadi karena harapan seseorang akan sesuatu yang semakin meningkat, sementara itu kemampuan untuk memujudkan sesuatu yang diharapkan cenderung menurun.
Deprivasi relatif berhubungan erat dengan meningkatnya kesenjangan antara sesuatu yang ingin didapatkan dengan sesuatu yang secara aktual mereka dapatkan. Hal ini sesuai dengan pandangan Michener & Delamater (1999) bahwa deprivasi relatif adalah kesenjangan antara harapan dengan kepuasan terhadap pencapaian kebutuhan. Sedangkan Gurr, Folger, Rosenfield & Robinson (Wiggins & Zanden, 1994), mendefinisikan deprivasi relatif sebagai kondisi mental dimana ada kesenjangan antara apa yang dicari seseorang dengan sesuatu yang dapat dicapai. Hal tersebut berarti deprivasi relatif terjadi ketika terjadi peningkatan pengharapan akibat perubahan yang lebih baik dari situasi ekonomi, sosial dan politik. Namun demikian harapan yang meningkat secara cepat tanpa diikuti perubahan yang lebih baik lagi akan mengarahkan ketidakpuasan.
Berdasarkan pandangan Hoffer (1993), bahwa deprivasi relatif kolektif mencakup tujuh indikator, yakni: merasa kelompoknya tidak mampu secara materi; kelompoknya tidak mampu memuaskan keinginannya untuk mengerjakan sesuatu; tersingkir dari kekuasaan; perasaan sebagai kelompok minoritas ; kelompok berambisi tapi mengalami rintangan yang besar atau kesempatan yang terbatas; kelompoknya bosan akan kemandekan; kelompoknya merasa diperlakukan tidak adil.
Perasaan adanya kesenjangan tersebut di atas bisa terjadi secara individual, saat seseorang membandingkan situasi yang terjadi dengan individu yang lain; bisa pula secara fraternal, yakni saat individu membandingkan situasi yang terjadi pada kelompoknya ternyata berbeda dengan kelompok yang lain (outgroup); ataupun individual-fraternal (Guimond & Dube-Simard dalam Wiggins & Zanden, 1994). Selanjutnya Crosby (Grant & Brown, 1995) membagi deprivasi relatif menjadi dua jenis sebagai berikut : egoistic relative deprivation, yakni hasil dari perbandingan interpersonal dan menyebabkan stress atau usaha seseorang untuk mendapatkan perbaikan; collective relative deprivation, yakni hasil dari perbandingan antar kelompok dan mendorong terjadinya protes sosial.
D. Political Efficacy
Political efficacy didefinisikan kemampuan individu untuk berperan atau mempengaruhi komponen-komponen sistem politik tersebut. Campbell, Gurin dan Miller (Morrell, 2003) mendefinisikan political efficacy sebagai perasaan bahwa aksi politik harus dilakukan sebagai dampak dari proses politik, sebagai bentuk tugas dari warga negara. Secara sederhana political efficacy adalah persepsi powerfullness atau powerlessness warga negara dalam realitas politik. Hal ini ditegaskan lebih dalam oleh Zimmerman (dalam Angelique et al., 2002) bahwa political efficacy merupakan penangkal terjadinya alienasi dan dipahami sebagai bentuk political powerfullness.
Rhenson (McLean, 2006) yang melakukan studi tentang kebutuhan psikologis dan perilaku politik, mendefinisikan political efficacy sebagai keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan dan memuaskan kebutuhan untuk mengendalikan (personal control) proses politik.
Michael E Morrell (2003) mengungkapkan bahwa political efficacy mencakup dua komponen, yakni : internal political efficacy, yakni adanya keyakinan kompetensi seseorang untuk memahami dan berpartisipasi efektif dalam politik; external political efficacy, yakni adanya keyakinan tentang tanggung jawab pemimpin dan institusi negara pada kebutuhan warga negara. Lebih jelas lagi Niemi, Craig dan Mattei (McLean, 2006) mendefinisikan internal political efficacy sebagai keyakinan seseorang pada kompetensinya untuk memahami dan berpartisipasi secara efektif di bidang politik. Ditambahkan oleh McLean (2006) bahwa internal political efficacy adalah keyakinan seseorang untuk berpartisipasi di bidang politik, misalnya ikut pemilu, mendukung finansial kandidat atau berdiskusi dengan teman tentang politik. Sementara itu Renshon, Niemi, Craig dan Mattei (McLean, 2006) mengungkapkan external political efficacy adalah tingkatan persepsi seseorang tentang responbilitas pejabat dan institusi pemerintah terhadap kebutuhan warga negara, misalnya harapan akan tercapainya demokrasi.
Lebih jauh lagi internal efficacy mencakup: kualifikasi / kemampuan diri seseorang untuk berpartisipasi dalam politik (selfqual), memahami isu-isu aktual perpolitikan (understand), merasa orang lain lebih mudah memahami isu yang kompleks disbanding dirinya (others) ; perasaan bisa bekerja dengan baik di instansi publik seperti orang lain (puboff), ketidakyakinan diri sendiri ketika berbicara dengan orang lain tentang politik dan pemerintahan (notsure) dan kemampuan memberikan informasi tentang politik (informed). Sementara itu external efficacy mencakup : ketidakmampuan berbicara tentang persoalan yang terjadi di negara (nosay), serta kurang adanya perhatian aparat negara terhadap warga negara (nocare).
Hal tersebut didukung oleh Conway (dalam Muluk dan Reksodiputro, 2005), bahwa ada dua dimensi dalam efikasi politik, yakni : Efikasi politik internal merupakan keyakinan bahwa seseorang mampu memahami politik dan pemerintah, serta tindakannya dapat mempengaruhi proses politik; Efikasi politik eksternal merupakan keyakinan bahwa pejabat pemerintah responsif terhadap kepentingan seseorang dan institusi politik serta pemerintah mendukung agar para pejabat responsif.
E. Political Trust
Trust atau kepercayaan menurut Lewicki dan Bunker (Faturochman, 2002) adalah adanya harapan dari seseorang terhadap orang lain (pihak lain) dalam berinteraksi sosial, yang mencakup adanya resiko yang terkait dengan harapan tersebut. Sebagai contoh seseorang yang mempercayai orang lain dan ternyata tidak terbukti bisa dipercaya, maka akan muncul akibat negatif seperti marah, kecewa dan merasa dikhianati. Trust adalah tingkat kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap orang lain yang akan secara konsisten merespon kebutuhan dan keinginannya (Miller & Rempel, 2004). Selain itu trust dianggap sebagai komponen utama dalam hubungan interpersonal. Lebih jauh lagi Miller & Rempel (2004) menekankan bahwa secara teoritis trust merupakan sejumlah pengharapan kognitif dan emotif terhadap apa yang akan terjadi di masa depan.
Barber (McLean, 2006) menambahkan bahwa trust memiliki 2 komponen penting, yakni : competence dan fiduciary responbility. Hal tsb berarti trust mencakup harapan bahwa seseorang harus bisa melakukan sesuatu yang kompeten di bidangnya dan memiliki komitmen moral untuk menyelesaikan tugas sesuai bidangnya. Jadi adanya rasa percaya pada pemerintahan berarti menganggap orang-orang yang menjadi pejabat publik harus kompeten di bidangnya dan memiliki moralitas untuk menyelesaikan persoalan sesuai dengan kompetensinya. Selanjutnya Hardin (McLean, 2006) menjelaskan komponen dari trust adalah ability dan motivation. Hal tersebut berarti seseorang yang tidak percaya pada pemerintah karena menganggap pejabat publik tsb tidak kompeten untuk menyelesaikan persoalan, atau tidak memiliki motivasi untuk menjaga kepentingan publik. Lebih lanjut Levi (McLean, 2006) menjelaskan bahwa trust mencakup komponen fairness, artinya seseorang akan percaya pada pemerintah bila pejabat publik melakukan suatu proses yang fair, legitimate dan accountable.
Political trust dapat diartikan sebagai kepercayaan individu terhadap komponen-komponen sistem politik yang berlaku saat ini. Misztal (2001) mengungkapkan bahwa kepercayaan (trust) adalah elemen penting dalam demokrasi dan ada berbagai macam kategori tentang trust yang terkait dengan perbedaan konteks, misalnya organisasi, sistem politik dan keluarga. Selain itu Misztal menekankan juga bahwa trust juga terkait dengan konsep social capital, civil society dan social cooperation. Tingginya modal sosial (social capital) atau trust akan memberi dasar bagi masyarakat untuk bekerjasama dan kontribusi penting dalam demokrasi dan inovasi yang lebih baik dalam bidang ekonomi. Putnam (dalam Mitsztal, 2001) menyatakan bahwa social trust di dunia modern yang semakin kompleks dapat meningkatkan 2 hal yang saling berkaitan, yakni norma resiprokal atau hubungan timbal balik dan jaringan yang mengaitkan antar warga negara.
Sementara itu Kim et al. (dalam Muluk dan Reksodiputro, 2005) menyatakan bahwa kepercayaan politik terkait dengan pandangan individu tentang berbagai hal yang dihasilkan oleh sebuah sistem seperti politisi, sistem politik dan institusi. Artinya kepercayaan politik tidak hanya mencakup rasa percaya pada pemerintah, tetapi juga elemen-elemen yang melekat pada pemerintahan.Lebih lanjut Gamson (dalam Muluk dan Reksodiputro, 2005) menjelaskan bahwa kepercayaan politik mencakup keyakinan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan kepentingan individu atau publik.
Stokes (dalam Hetherington, 1998) mendefinisikan political trust sebagai evaluasi dasar seseorang pada Negara. Evaluasi tersebut bisa bermakna positif atau negatif, evaluasi positif mengarahkan rasa percaya pada Negara, sedangkan evaluasi negatif menunjukkan rasa tidak percaya pada Negara. Lebih jauh A. Miller (dalam Hetherington, 1998) menekankan political trust sebagai sejauh mana Negara menjalankan pemerintahan sesuai dengan ekspektasi normatif masyarakat. Semakin mampu sebuah Negara untuk menyelesaikan segala persoalan ekonomi, sosial dan politik, maka akan meningkatkan rasa percaya pada sebuah sistem. Sebaliknya semakin carut marutnya sebuah Negara karena berbagai persoalan yang tidak terselesaikan akan mengarahkan pada ketidakpercayaan pada sistem politik. Pendapat lain dari Citrin (Chan, 1997) yang menyatakan bahwa political trust merupakan evaluasi kualitas etis dari kepemimpinan politik, bukan sistem politik. Hal tersebut berarti pemimpin yang memiliki etika baiklah, yang menjadi dasar dari kepercayaan seseorang pada politik.
F. Dasar Teori
1. Hubungan antara Deprivasi Relatif dengan Partisipasi dalam Gerakan Sosial
Deprivasi relatif juga berkaitan erat secara langsung dengan partisipasi dalam gerakan sosial. Seperti pendapat Feuer (1969) dan Lofland& Stark (1965) yang menemukan hubungan yang erat antara tipe kebutuhan atau permasalahan individu dengan tipe gerakan. Penelitian Ladd & Pettigrew (dalam DiRenzo, 1990) menemukan bahwa adanya gerakan kebebasan warga kulit hitam diakibatkan oleh adanya deprivasi relatif pada warga kulit hitam kelas menengah. Penelitian lain menemukan pula adanya hubungan antara deprivasi subjektif dan partisipasi dalam gerakan anti obat bius di Boston dan huru hara di penjara (Useem, 1980, 1985; Useem & Kimball, 1989). Lebih detail lagi, Stephan & Stephan (1985) menyatakan adanya keterkaitan antara deprivasi relatif dengan partisipasi dalam anti-busing protest di South Boston tahun 1976, baik deprivasi yang terkait dengan kelas sosial ekonomi (relative deprivation based on class) maupun ras (relative deprivation based on race).
Berbagai studi yang dilakukan oleh Gurr, Runciman, Walker & Pettigrew (Grant & Brown,1995) menemukan bahwa faktor psikologis yang memotivasi seseorang untuk melakukan protes secara kolektif adalah deprivasi relatif. Selanjutnya Crosby (Grant & Brown, 1995) membagi deprivasi relatif menjadi dua jenis sebagai berikut : egoistic relative deprivation, yakni hasil dari perbandingan interpersonal dan menyebabkan stress atau usaha seseorang untuk mendapatkan perbaikan; collective relative deprivation, yakni hasil dari perbandingan antar kelompok dan mendorong terjadinya protes sosial.
Begitu pula hasil kajian Davies (dalam Michener & Delamater, 1999) bahwa revolusi (gerakan revolusioner) bisa terjadi saat tingkat aktualisasi kepuasan yang menurun diikuti oleh periode meningkatnya harapan dan kepuasan relatif. Konsep ini terkenal dengan the J-curve model, yang menjelaskan bahwa sebagai respon dari peningkatan kondisi sosial ekonomi membuat seseorang mengharapkan keberlangsungan peningkatan kepuasan akan kebutuhannya. Selama masyarakat mengalami kepuasan akan terjadi stabilitas politik, namun demikian bila terjadi sebaliknya akan terjadi peningkatan deprivasi relatif yang lama kelamaan akan meningkatkan terjadinya revolusi.
Kajian lain dari Begley & Alker serta Guimond & Dube-Simard (dalam Michener & Delamater, 1999), menemukan perasaan deprivasi dari anggota suatu kelompok terhadap anggota kelompok yang lain akan mengarahkan pada aksi protes kolektif. Menurut James C. Davies (dalam Coleman dan Kerbo, 2003), perbaikan kondisi sosial akan meningkatkan harapan adanya perubahan yang lebih baik, sehingga saat individu merasa tidak mampu lagi mengurangi standar kehidupan sesuai dengan harapan, maka akan meningkatkan perlawanan pada pemerintahan.
Lebih jauh diungkapkan Hoffer (1993), bahwa gerakan massa muncul akibat adanya berbagai kelompok yang yang tidak mampu secara materi (berkaitan dengan kemiskinan); ketidakmampuan memuaskan keinginan untuk mengerjakan sesuatu; tersingkir dari kekuasaan; ada perasaan minoritas; mempunyai ambisi namun mengalami rintangan yang besar atau kesempatan yang terbatas; perasaan bosan akan kemandekan; serta merasa diperlakukan tidak adil. Faktor-faktor tersebut merupakan bentuk dari berbagai ketidakpuasan atau deprivasi relatif individu akibat tekanan sosial / sistem. Lebih jauh lagi Gurr (Basrowi dan Sodikin, 2003), deprivasi relatif ini akan mengarah pada progressive deprivation yang memudahkan terjadinya tindakan perlawanan terbuka dari masyarakat melewati tahapan sebagai berikut : Bertambahnya ketidakpuasan masyarakat; Terjadinya upaya politisasi terhadap ketidakpuasan dan Adanya gerakan yang mengaktualisasikan ketidakpuasan dalam bentuk aksi kekerasan kolektif terhadap sasaran tertentu. Jadi gerakan sosial yang revolusioner akan muncul saat para pemimpin politik atau pemerintahan dengan sengaja menyulut perasaan tidak puas atau deprivasi pada masyarakat (Skocpol, 1991).
Keterkaitan kedua variabel tsb dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Egoistic Relative Deprivation
Relative Deprivation Partisipasi Gerakan Mahasiswa
Collective Relative Deprivation
Bagan 1. Hubungan antara Relative Deprivation dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
2. Hubungan antara Deprivasi Relatif dengan Political Trust
Robinson et al. (dalam Muluk dan Reksodiputro, 2005) mengaitkan deprivasi relatif dengan political trust, yakni bila terdapat kesejangan antara harapan yang ada di masyarakat dengan kenyataan yang ada (deprivasi relatif) maka kepercayaan politik akan rendah dan akan berpengaruh pada efektivitas, kontinuitas dan moralitas sistem sosial. Lebih lanjut Citrin (dalam Chan, 1997) menyimpulkan bahwa political trust memiliki efek yang penting munculnya partisipasi politik masyarakat untuk lebih memperhatikan berita tentang kampanye.
Orum (dalam Allen et al., 1980) mengemukakan adanya hubungan yang erat antara ketidakpuasan subjektif (deprivasi relatif) dengan kepercayaan individu terhadap sistem politik yang ada, dimana semakin tinggi ketidakpuasan subjektif (deprivasi relatif) akan menurunkan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada. Hal tersebut karena individu semakin merasa kekurangan terhadap segala kebutuhan yang ada dalam kehidupannya, akan mengarahkan persepsi bahwa sistem politiklah yang bertanggung jawab akan kondisi tersebut. Akhirnya muncul ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang dianggap menimbulkan ketidakpuasan tersebut. Sebagaimana diketahui menurut Miller (dalam Mangum, 2003), political trust adalah evaluasi atau affective judgement terhadap negara. Hal tersebut berarti kurangnya kepercayaan terhadap negara akan mengarahkan pada political cynism.
Keterkaitan kedua variabel tsb dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Egoistic Relative Deprivation
Relative Deprivation Political Trust
Collective Relative Deprivation
Bagan 2. Hubungan antara Relative Deprivation dengan Political Trust
3. Hubungan antara Political Trust dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Selanjutnya Milbrath & Coel serta Conway (dalam Mangum, 2003) mengatakan bahwa seseorang yang percaya terhadap negara memiliki keyakinan bahwa Negara akan bekerja untuk meningkatkan kehidupan warga negaranya, sedangkan warga negara yang memiliki political trust yang rendah mengganggap bahwa negara hanya responsif terhadap beberapa orang atau ketertarikan tertentu seperti korupsi, yang memberi pelayanan khusus dsb. Adanya harapan yang tinggi pada sistem politik karena masih tingginya idealisme orang muda, ternyata tidak diimbangi oleh perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini akan memudahkan percikan munculnya gerakan mahasiswa.
Guterbock & London (Mangum, 2003) menemukan bahwa orang kulit hitam berpartisipasi lebih aktif dalam protes politik apabila menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap negara. Selanjutnya James M Jasper (Goodwin & Jasper, 2003) menggeneralisasikan bahwa kepercayaan pada sistem politik akan mempengaruhi perilaku politik, terutama mengurangi keinginan untuk protes. Hal tersebut karena diasumsikan negara telah menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat dengan sendirinya tanpa adanya tekanan publik.
Hal yang sama dikemukakan Citrin, Green, Lipset & Scheneider ( dalam Hetherington, 1998) bahwa kepercayaan pada system politik akan mengarahkan pada dukungan politik berupa kepuasan pada kebijakan pemerintahan dan performans dari pimpinan politik, maupun sikap positif masyarakat pada rejim politik yang ada. Jadi rendahnya kepercayaan pada sistem politik yang ada akan mengarahkan pada meningkatnya partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa, karena mereka merasakan ketidakpuasan akan kinerja pemerintah yang dianggap tidak optimal.
Keterkaitan kedua variabel tsb dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Political Trust Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Bagan 3. Hubungan antara Political Trust dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
4. Hubungan antara Political Trust dengan Political Efficacy
Hasil penelitian dari Pinkleton dkk (1998) pada pemilih di Washington menemukan bahwa cynism (kurangnya kepercayaan terhadap sistem politik atau political distrust ) berkaitan erat dengan political efficacy. Selanjutnya Austin dan Pinkleton (Pinkleton dkk, 1998) menyatakan bahwa cynism memiliki korelasi negatif dengan efficacy, artinya warga negara yang sinis (cynical citizen) cenderung tidak percaya dengan institusi pemerintah dan merasa tidak mampu mempengaruhi kerja pemerintahan.
Hal tersebut berarti seseorang yang tidak merasa menjadi bagian atau merasa kurang berperan serta pada pengambilan keputusan suatu kebijakan publik (political efficacy yang rendah), maka akan mengarahkan pada munculnya ketidakpercayaan pada sistem politik. Sebaliknya rasa percaya yang rendah pada sistem politik atau pemerintahan akan mengarahkan pada rasa kurang berperan pada proses pengambilan kebijakan publik. Lebih jauh lagi perasaan bahwa para pejabat publik atau pemerintahan yang kurang mampu menyelesaikan persoalan negara akan mengarahkan pada kekurangpercayaan pada kompetensi pejabat publik tersebut. Sebaliknya rasa kurang percaya pada sistem politik yang ada akan mengarahkan pada rasa sinis akan kemampuan pejabat publik untuk mampu menyelesaikan persoalan pemerintahan atau kepentingan masyarakat luas.
Keterkaitan kedua variabel tsb dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Internal Political Efficacy
Political Efficacy Political Trust
External Political Efficacy
Bagan 4. Hubungan antara Political Efficacy dengan Political Trust
5. Hubungan antara Political Efficacy dengan Partisipasi dalam Gerakan Sosial
Penelitian lain dari Kelly & Kelly (dalam Haslam, 2001) mengkaitkan partisipasi protes pekerja dalam suatu organisasi gerakan sosial dengan beberapa variabel, antara lain : identifikasi dengan organisasi pekerja, pandangan stereotype dari manajemen terhadap pekerja, orientasi koletivistik, collective relative deprivation, egoistic relative deprivation, political efficacy dan persepsi terhadap konflik antar kelompok. Penelitian Pinkleton dkk (1998) menemukan keterkaitan atau korelasi positif antara political efficacy dengan partisipasi politik, terutama perilaku memilih. Selanjutnya menurut Michelson (2000) tingkatan political efficacy berkaitan dengan partisipasi politik, terutama keikutsertaan dalam Pemilu.
Menurut Orum (dalam Allen, et al., 1980), individu yang mempunyai perasaan mampu untuk mempengaruhi sistem politik yang ada, akan mengarahkan pada keinginan untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Morrell (2003), yang menemukan bahwa internal efficacy berkorelasi sangat kuat dengan psychological involvement, berkorelasi sedang dengan partisipasi politik dan tingkat pendidikan seseorang. Sedangkan studi kualitatif dan kuantitatif dari Stewart dan Weinstein (1997) menemukan bahwa external political efficacy berkaitan erat dengan partisipasi seseorang dalam organisasi HIV/ AIDS. Wittig (dalam Angelique et al., 2002) menyatakan bahwa political efficacy merupakan prediktor dari aktivis dalam gerakan politik.
Lebih jauh lagi (Semetko dan Valkenburg, 1998) beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara political efficacy (perasaan berperan baik internal and external) dengan berbagai bentuk keikutsertaan dan ketertarikan dalam realitas politik. Sebagai contoh hasil survey cross-sectional dari Balch (Semetko dan Valkenburg, 1998) yang menemukan korelasi positif antara political efficacy dengan keinginan untuk mencari informasi dan ketertarikan pada politik. Jadi warga Negara yang memiliki a high sense of political efficacy cenderung aktif, mendukung, mencari informasi, tertarik, loyal, mengalami kepuasan dalam aktivitas politik.
Jadi seseorang yang merasa dirinya mampu berperan dalam kegiatan pemerintahan,utamanya dalam pengambilan keputusan akan kebijakan suatu negara, maka akan mengarahkan pada minimnya partisipasi dalam suatu gerakan mahasiswa. Hal tersebut karena mereka sudah merasa mendapatkan political bargaining yang memadai untuk tidak melakukan protes pada pemerintahan yang ada.
Keterkaitan kedua variabel tsb dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Internal Political Efficacy
Political Efficacy Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
External Political Efficacy
Bagan 5. Hubungan antara Political Efficacy dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Keterkaitan antar variabel tersebut dapat digambarkan dalam model partisipasi dalam gerakan mahasiswa,seperti di bawah ini :
Gambar 1.Model Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Keterangan:
X1 = Egoistic Relative Deprivation
X2 = Collective Relative Deprivation
Y1 = Political Trust
Y21 = Internal Political Efficacy
Y22 = External Political Efficacy
Z = Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian teoritis di atas dimunculkan hipotesis berdasarkan dinamika sebagai berikut:
1. Egoistic relative deprivation terkait dengan political trust, dan tingkat partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
2. Collective relative deprivation terkait dengan political trust, dan tingkat partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
3. Egoistic relative deprivation terkait dengan internal political efficacy, dan tingkat partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
4. Collective relative deprivation terkait dengan external political efficacy, dan tingkat partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
5. Political trust terkait dengan external political efficacy dan internal political efficacy para aktivis gerakan mahasiswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Endogen :
a. Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
b. Political Trust
c. Internal Political Efficacy
d. External Political Efficacy
2. Variabel Eksogen :
a. Egoistic Relative Deprivation
b. Collective Relative Deprivation
B. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian
1.Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
a. Definisi Operasional :
Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa merupakan keikutsertaan mahasiswa untuk melakukan gerakan mahasiswa / demonstrasi / unjuk rasa / aksi protes, dalam suatu organisasi gerakan mahasiswa, yang diungkap dengan skala partisipasi gerakan mahasiswa.
b. Pengembangan Alat Ukur
Skala ini dikembangkan berdasarkan skala partisipasi aktif dalam gerakan mahasiswa dari Aie-Rie Lee (1997) yang mengukur partisipasi mahasiswa dalam kegiatan demonstrasi di Korea Selatan. Selain itu skala ini menggabungkan pula dengan skala partisipasi dalam protes politik dari Muller (1972) dan Grofman & Muller (1973).
Skala partisipasi dalam gerakan mahasiswa mencakup antara lain : (1) Berpartisipasi dalam demonstrasi mahasiswa dalam bentuk pertemuan atau berdefile seijin pemerintah, ketidaktaatan pada hukum yang dianggap tidak adil, kampanye massa yang menentang aturan, protes dalam bentuk merusak property, menggunakan senjata untuk melawan pemerintah; (2)Mengikuti kelompok studi yang mempelajari tentang ideologi revolusioner; (3)Menggunakan cara teatrikal dalam demonstrasi; (4)Bergabung dalam kelompok studi yang senang berdiskusi semalaman; (5)Berpartisipasi dalam aksi solidaritas mahasiswa untuk buruh; (6)Berpartisipasi dalam demonstrasi di dalam kampus; (7)Berpartisipasi dalam demonstrasi di kampus lain; (8) Menggunakan kampus untuk mendiskusikan dan mengkonsolidasikan gerakan. Pilihan jawaban dari pernyataan tersebut adalah : Seringkali dengan skor 4, Kadang-kadang dengan skor 3, Jarang dengan skor 2 dan Tidak Pernah dengan skor 1.
2. Political Trust :
a. Definisi Operasional :
Rasa percaya mahasiswa terhadap sistem politik saat ini dan berbagai hal yang dihasilkan oleh sebuah sistem perpolitikan seperti politisi, sistem politik dan institusi, yang diungkap dengan skala kepercayaan politik.
b. Pengembangan Alat Ukur
Skala political trust, yang mencakup enam indikator, yakni : kepercayaan terhadap lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, partai politik, organisasi kemasyarakatan, serta sistem birokrasi. Pilihan jawaban dari pernyataan skala tersebut dalam rentang 1 (buruk) sampai dengan 7 (baik). Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
3. Internal Political Efficacy :
a. Definisi Operasional :
Efikasi politik internal adanya keyakinan bahwa seseorang kompeten untuk memahami dan berpartisipasi efektif dalam politik yang diungkap dengan skala efikasi politik internal.
b. Pengembangan Alat Ukur
Skala Internal Political efficacy dikembangkan berdasarkan konsep Michael E. Morrell (2003). Internal political efficacy mencakup indicator sebagai berikut: (1) kualifikasi atau kemampuan diri seseorang untuk berpartisipasi dalam politik (selfqual), (2) memahami isu-isu aktual perpolitikan (understand), (3) perasaan bisa bekerja dengan baik di instansi publik seperti orang lain (puboff), dan (4) kemampuan memberikan informasi tentang politik (informed). Pilihan jawaban dari pernyataan tersebut adalah : Sangat Tidak Setuju dengan skor 1, Tidak Setuju dengan skor 2, Ragu-ragu dengan skor 3, Setuju dengan skor 4 dan Sangat Setuju dengan skor 5.
4. External Political Efficacy :
a. Definisi Operasional :
Efikasi politik eksternal merupakan keyakinan mahasiswa tentang adanya tanggung jawab pemimpin dan institusi negara pada kebutuhan warga negara, yang diungkap dengan skala efikasi politik eksternal.
b. Pengembangan Alat Ukur
Skala External Political efficacy dikembangkan berdasarkan konsep Michael E. Morrell (2003). External political efficacy mencakup keyakinan akan kemampuan pejabat publik atau pemerintahan untuk : (1) memahami permasalahan kompleks dari perpolitikan dan negara (complex), (2) berbicara tentang persoalan yang terjadi di negara (nosay), dan (3) perhatian aparat negara terhadap warga negara (nocare). ). Pilihan jawaban dari pernyataan tersebut adalah : Sangat Tidak Setuju dengan skor 1, Tidak Setuju dengan skor 2, Ragu-ragu dengan skor 3, Setuju dengan skor 4 dan Sangat Setuju dengan skor 5.
5. Egoistic Relative Deprivation:
a. Definisi Operasional :
Egoistic relative deprivation merupakan perasaan kekurangan atau ketidakpuasan seseorang hasil dari perbandingan interpersonal yang menyebabkan stress, sehingga memunculkan usaha untuk mendapatkan perbaikan, yang diungkap dengan skala deprivasi relatif egoistik.
b. Pengembangan Alat Ukur
Pengembangan skala deprivasi relatif berdasarkan pandangan Hoffer (1993), mencakup 7 indikator, antara lain : tidak mampu secara materi (berkaitan dengan kemiskinan), ketidakmampuan memuaskan keinginan untuk mengerjakan sesuatu, tersingkir dari kekuasaan, ada perasaan minoritas, mempunyai ambisi namun mengalami rintangan yang besar atau kesempatan yang terbatas, perasaan bosan akan kemandekan, serta merasa diperlakukan tidak adil. Pilihan jawaban dari pernyataan yang favorabel adalah : Sangat Tidak Setuju dengan skor 1, Tidak Setuju dengan skor 2, Ragu-ragu dengan skor 3, Setuju dengan skor 4 dan Sangat Setuju dengan skor 5. Pilihan jawaban dari pernyataan yang unfavorabel adalah : Sangat Tidak Setuju dengan skor 5, Tidak Setuju dengan skor 4, Ragu-ragu dengan skor 3, Setuju dengan skor 2 dan Sangat Setuju dengan skor 1. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
6. Collective Relative Deprivation:
a. Definisi Operasional :
Collective relative deprivation adalah perasaan kekurangan atau ketidakpuasan seseorang hasil dari perbandingan antara kelompoknya dengan kelompok lain yang menyebabkan stress, sehingga memunculkan usaha untuk mendapatkan perbaikan, yang diungkap dengan skala deprivasi relatif kolektif.
b. Pengembangan Alat Ukur
Pengembangan skala deprivasi relatif berdasarkan pandangan Hoffer (1993), bahwa deprivasi relatif kolektif mencakup tujuh indikator, yakni: merasa kelompoknya tidak mampu secara materi; kelompoknya tidak mampu memuaskan keinginannya untuk mengerjakan sesuatu; tersingkir dari kekuasaan; perasaan sebagai kelompok minoritas ; kelompok berambisi tapi mengalami rintangan yang besar atau kesempatan yang terbatas; kelompoknya bosan akan kemandekan; kelompoknya merasa diperlakukan tidak adil. Pilihan jawaban dari pernyataan yang favorabel adalah : Sangat Tidak Setuju dengan skor 1, Tidak Setuju dengan skor 2, Ragu-ragu dengan skor 3, Setuju dengan skor 4 dan Sangat Setuju dengan skor 5. Pilihan jawaban dari pernyataan yang unfavorabel adalah : Sangat Tidak Setuju dengan skor 5, Tidak Setuju dengan skor 4, Ragu-ragu dengan skor 3, Setuju dengan skor 2 dan Sangat Setuju dengan skor 1. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
C. Subjek dan Lokasi Penelitian
Subjek yang digunakan penelitian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Subjek berstatus sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta, atau Akademi dan Sekolah Tinggi.
2. Aktivis dari suatu kelompok gerakan mahasiswa.
3. Subjek berusia antara 19 s/d 29 tahun.
4. Lokasi subjek penelitian di Jawa Timur.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, maka disebarkan kepada subjek penelitian sejumlah 200 orang, namun demikian skala penelitian yang kembali sebanyak 182 eksemplar, dan yang layak untuk dianalisis sejumlah 166 esksemplar.
D.Cara Penelitian
Riset ini dilakukan dalam beberap tahap antara lain :
1. Riset diawali dengan pendekatan pada beberapa organ gerakan yang berada di beberapa kampus yang memiliki organisasi gerakan mahasiswa, baik yang secara formal diakui oleh pihak kampus maupun yang sebenarnya ”dilarang” atau tidak diakui secara formal untuk eksis di kampus namun melakukan berbagai kegiatan di kampus. Hal tersebut karena pihak kampus tidak menginginkan terjadinya instabilitas di kampus, sehingga mereka terkesan ”membiarkan” mereka melakukan berbagai kegiatan, baik menempel pengumuman yang provokatif, memobilisasi pertemuan di kampus, melakukan diskusi di lingkungan kampus dan memberikan pelatihan untuk anggota baru gerakan.
2. Pendekatan yang lebih penting lagi adalah kepada para pimpinan gerakan untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya tentang kegiatan gerakan mahasiswa yang diikuti dan menjadikan mereka sebagai key-person untuk diskusi dan membantu mencarikan subjek penelitian. Peran ketua atau pimpinan menjadi sangat dominan, karena fungsi mereka yang sangat penting untuk menggerakkan roda organisasi dan melanggengkan aktivitas gerakan. Oleh karena itu ketua atau pimpinan gerakan dipilih berdasarkan pengalaman, pemahaman arah gerakan, kreativitas dalam beraktivitas dan ”keberanian” untuk menyuarakan protes. Kegiatan organisasi gerakan sangat tergantung oleh keberadaan pimpinan aktivis gerakan tsb.
3. Setelah penyebaran skala penelitian untuk para aktivis, maka dilakukan pengumpulan skala penelitian tsb dengan dibantu oleh pimpinan gerakan tsb. Pengumpulan data menjadi kendala utama dalam penelitian ini, karena berbagai aktivitas mereka, sehingga banyak yang lupa dan meminta lagi skala penelitian. Selain itu masih ada kecurigaan bahwa penelitian ini merupakan cara aparat untuk mencari informasi tentang aktivitas dan keberadaan organisasi gerakan, dan hasilnya digunakan untuk mengntisipasi dan meredam gerakan mahasiswa. Oleh karena itu banyak tulisan di skala penelitian yang mengkritik peneliti dan tidak mau menyelesaikan meneruskan jawaban dalam skala penelitian. Pada akhirnya hanya didapatkan 166 skala yang diisi dengan lengkap dan digunakan sebagai subjek atau responden penelitian.
4. Hasil analisis statistik kemudian dilakukan cross check pada para aktivis untuk mengkonfirmasi dengan kondisi sebenarnya tentang fenomena di kancah gerakan mahasiswa. Konfirmasi ini sebagian besar dilakukan dengan para pimpinan aktivis dari masing-masing gerakan mahasiswa.
E. Analisis Data
Berdasarkan tujuan penelitian yang dirumuskan di awal, maka analisis data dilakukan dengan menggunakan model persamaan structural Partial Least Square (PLS). PLS ini pertama kali dikembangkan oleh Wold sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan konstruk laten dengan multipel indikator. PLS dapat dianggap sebagai model alternatif dari covariance based SEM, dimana PLS dimaksudkan untuk causal-predictive. Tehnik statistik tersebut memungkinkan dilakukan pengujian serangkaian hubungan yang relatif rumit dan simultan, serta mengkorfirmasi teori (Ghozali, 2006). Selanjutnya menurut Ghozali (2006) model analisis PLS melakukan estimasi parameter yang dikategorikan sebagai berikut :
1. Weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skor variabel laten.
2. Path estimate yang menghubungkan variabel laten dan antar variabel laten serta indikatornya (loading).
3. Means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi) untuk indikator dan variabel laten.
Selain itu model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan :
1. Inner model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten (inner relation, structural model dan substantive theory).
2. Outer model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten dengan indikator atau variabel manifest-nya (outer relation, measurement model).
3. Weight relation agar variabel laten bisa diestimasi, dengan asumsi bahwa variabel laten dan variabel manifest diskala zero means dan unit variance sama dengan satu, sehingga parameter konstanta dapat dihilangkan dalam model.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan PLS didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Modifikasi model dilakukan dengan cara menghilangkan beberapa manifest variable atau indicator, karena skornya di bawah 0.50, terutama pada variabel egoistic relative deprivation, collective relative deprivation, political trust dan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 12
Indikator yang Dihilangkan Pada Masing-masing Variabel
Variabel Indikator Yang Dihilangkan
Egoistic Relative Deprivation -Kebosanan akan Kemandekan
-Merasa Diperlakukan Tidak Adil
Collective Relative Deprivation -Perasaan sebagai kelompok minoritas
-Berada dalam kelompok yang merasa bosan akan kemandekan
Political Trust -Kepercayaan pada Organisasi Kemasyarakatan
Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa -Berpartisipasi dalam demonstrasi di dalam kampus
-Berpartisipasi dalam demonstrasi di kampus lain
-Menggunakan kampus untuk mendiskusikan dan mengkonsolidasikan gerakan
2. Reliabilitas konstruk
Reliabilitas suatu konstruk dapat dinilai dari composite reliability, average variance extracted (AVE) dan membandingkan nilai akar AVE dengan nilai korelasi antar konstruk.
Tabel 13
Hasil Perhitungan Composite Reliability dan Average Variance
Extracted (AVE) Sebelum Modifikasi Model
Composite Reliability Average Variance
Extracted (AVE)
X1 0.745 0.426
X2 0.836 0.452
Y1 0.934 0.711
Y21 0.855 0.599
Y22 0.738 0.493
Z 0.748 0.315
Tabel 14
Hasil Perhitungan Composite Reliability dan Average Variance
Extracted (AVE) Setelah Modifikasi Model
Composite Reliability Average Variance
Extracted (AVE)
X1 0.867 0.568
X2 0.880 0.600
Y1 0.955 0.811
Y21 0.855 0.598
Y22 0.754 0.510
Z 0.825 0.486
Keterangan:
X1 = Egoistic Relative Deprivation
X2 = Collective Relative Deprivation
Y1 = Political Trust
Y21 = Internal Political Efficacy
Y22 = External Political Efficacy
Z = Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa nilai composite reliability di atas 0.80, kecuali pada variabel external political efficacy (0.754) dan nilai average variance extracted (AVE) di atas 0.50, kecuali pada variabel partisipasi dalam gerakan mahasiswa (0.486). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar konstruk memenuhi reliabilitas yang tinggi.
3. Model struktural
Model struktural didapatkan dengan cara melihat hubungan antar konstruk laten dengan melihat estimasi koofisien parameter path dan tingkat signifikansinya, yang akan dibahas di Bab IV tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan mulai tanggal 20 April 2006 sampai dengan tanggal 16 Juli 2006 pada mahasiswa yang aktif dalam gerakan mahasiswa (aktivis) di Jawa Timur, utamanya di Surabaya. Pengambilan data dilakukan lewat tokoh atau pemuka gerakan mahasiswa yang bisa membantu pengumpulan data penelitian. Namun demikian pengumpulan data tidak semudah yang dibayangkan, karena ada kecenderungan mereka mencurigai aktivitas penelitian yang dilakukan nantinya akan digunakan untuk kepentingan pemerintah atau penguasa. Menurut beberapa informan, selama ini banyak riset yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak jelas keberadaanya, sehingga dicurigai digunakan untuk kepentingan pemerintah atau kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu jumlah responden yang diharapkan sekitar 200 orang, ternyata hanya didapatkan 166 orang yang digunakan sebagai subjek penelitian.
Berdasarkan hasil pengumpulan dat responden tersebut, maka dilakukan berbagai analisis data penelitian dengan menggunakan SPSS 14.0 for windows dan program PLS. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada hasil penelitian di bawah ini :
B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Responden
a. Nama Organ Gerakan Mahasiswa
Jumlah ketiga kelompok yang menjadi responden terbanyak adalah GMNI, KAMUS PR dan SGMS. Ketiga organ tersebut yang paling banyak berinteraksi dan memiliki kedekatan emosional dengan peneliti, terutama pimpinan dari ketiga kelompok tsb.
b. Jenis Organ Gerakan Mahasiswa
Jenis organ gerakan mahasiswa sebagian besar adalah kelompok moderat dan radikal. Pandangan secara individual bahwa kelompok gerakan mereka berada pada jenis moderat, semi moderat dan radikal, kadangkala tidak sesuai dengan pandangan secara kelompok.
c. Ideologi Organ Gerakan Mahasiswa
Ideologi gerakasi mahasiswa yang dominan pada responden penelitian adalah kelompok gerakan dengan ideologi nasionalis. Hal itu dimungkinkan karena sebagian besar responden adalah aktivis GMNI yang berorientasi nasionalis. Namun demikian munculnya banyaknya responden yang menyatakan ideologi gerakan sosialis agak mengejutkan peneliti, karena ideologi gerakan sosialis banyak dicap oleh pemerintah sebagai golongan yang kekiri-kirian, dan bisa menjadi sasaran kesalahan dengan stigma komunis. Ternyata sebagian besar aktivis lebih senang menganggap kelompok mereka agak kekiri-kirian.
d. Lama Aktif di Organ Gerakan Mahasiswa
Responden penelitian sebagian besar sudah lama berkecimpung dalam gerakan (lebih kurang 1 tahun), sehingga diharapkan akan memberikan paparan yang lebih komphrehensif dalam penelitian ini. Aktivitas selama kurang lebih 1 tahun akan memberikan perspektif yang lebih objektif tentang gerakan mahasiswa, karena biasanya waktu yang diperlukan untuk menjadi seorang aktivis yang benar-benar memahami visi dan misi sebuah gerakan minimal 10 bulan. Rinciannya adalah sebagai berikut : fase pengenalan organisasi (pelatihan) membutuhkan waktu 1 bulan, setelah itu ada fase penguatan konsep tentang politik, visi organisasi, mobilisasi gerakan selama 2 bulan, kemudian kemampuan untuk berperan serta dalam aksi selama 3 bulan, sampai kemudian mendapat peran penting dalam merancang dan membuat opini dalam aksi kurang lebih 4 bulan. Selama fase-fase tersebut belum tentu anggota yang direkrut mampu bertahan berada dalam organisasi gerakan. Namun demikian dalam jangka waktu kurang lebih 1 tahun akan muncul keterikatan pada kelompok gerakan.
e. Frekuensi Melakukan Demonstrasi
Frekuensi melakukan demonstrasi menjadi sarana belajar para aktivis untuk membangun rasa percaya diri secara individual dan menunjukkan eksistensi gerakan. Selain itu demonstrasi dianggap sebagai sarana untuk membangun opini publik tentang opini tertentu. Oleh karena itu pengalaman ikut serta sebagai peserta atau koordinator lapangan dalam demonstrasi merupakan tolok ukur kapasitas kemampuan seseorang untuk ”dikenal” dalam percaturan politik gerakan. Berdasarkan data nampak sekali bahwa sebagian besar responden pernah ikut dalam demonstrasi selama 1 sampai dengan 10 kali. Hal tersebut terkait dengan banyak hal antara lain lemahnya isu nasional yang diusung selama 2005-2006, yang paling menonjol hanyalah masalah kenaikan BBM dan mengkritisi pelanggaran HAM serta KKN di kalangan pejabat. Selain itu isu lokal tidak banyak mendapatkan tayangan dari media sebagai sarana membangun opini publik. Oleh karena itu aktivitas demonstrasi tidak banyak dilakukan oleh para aktivis gerakan mahasiswa.
f. Asal Perguruan Tinggi
Memang harus diakui bahwa kutub PTN dan PTS tidak hanya meruncing pada tingkatan petinggi perguruan tinggi, terutama tentang pembagian jatah calon mahasiswa. Namun demikian pada tataran gerakan mahasiswa ada pengkutuban PTN dan PTS, seperti yang terjadi secara nasional ada kelompok BEM yang banyak diisi oleh PTN ternama dan kelompok BEM yang anggotanya dominan dari PTS dan PTS yang berbasiskan agama. Selain itu aturan di PTS relative lebih fleksibel dibandingkan di PTN, sehingga banyak aktivis gerakan mahasiswa yang berlatar belakang dari PTS. Selain itu akses peneliti untuk masuk pada kelompok gerakan lebih mudah pada PTS daripada di PTN.
g. Asal Fakultas
Sebagian besar aktivis gerakan mahasiswa berasal dari fakultas atau jurusan ilmu sosial. Hal tersebut karena ilmu sosial dianggap paling bersentuhan dengan isu atau persoalan yang diusung dalam sebuah gerakan,misalnya ilmu politik, pemerintahan, ekonomi,hukum dan psikologi. Pada penelitian ini sebagian besar pimpinan organisasi gerakan adalah mahasiswa psikologi, yang notabene dianggap feminin. Sementara itu aktivis dari gerakan mahasiswa yang berlatar belakang dari Fakultas eksak adalah mahasiswa fakultas tehnik dari berbagai jurusan.
h. Semester
Tingkat atau semester yang ditempuh oleh responden yang menjadi aktivis demonstrasi sebagian besar berkutat pada semester 1 sampai dengan 8. Hal tersebut karena pada semester tsb dianggap masih bisa dirangkap dengan aktivitas berorganisasi di organisasi kemahasiswaan maupun kegiatan ekstra kampus (organisasi gerakan mahasiswa). Sistem SKS yang memberatkan bagi membuat mereka harus mengoptimalkan awal perkuliahan untuk aktif dalam organisasi, karena setelah itu ada tuntutan untuk segera lulus. Aktivitas yang padat tsb kadangkala membuat mereka tidak optimal untuk menempuh mata kuliah, sehingga sisa waktu sebelum lulus digunakan untuk mengulang perkuliahan. Kalaupun ada sebagian kecil yang masih aktif di semester akhir, karena mendapatkan tanggung jawab untuk menjalankan organisasi ataupun mereka yang nantinya memiliki aspirasi untuk terjun pada dunia politik praktis setelah lulus.
i. Indeks Prestasi Kumulatif Rata-rata
Indeks prestasi kumulatif masih menjadi indikator utama dari keberhasilan atau prestasi mahasiswa di Perguruan Tinggi. Namun demikian realitas seperti ini banyak yang ditentang oleh sebagian besar aktivis mahasiswa yang menganggap IPK hanyalah tolok ukur yang lemah tentang keberhasilan lulusan nantinya saat berada di dunia kerja. Pandangan seperti itu ternyata sesuai dengan isian responden tentang indeks prestasinya. Sebagian besar responden aktivis gerakan berada pada tingkatan nilai IPK yang berkisar pada nilai 2 sampai dengan 3. Hal tsb terjadi karena aktivitas untuk menjalankan roda organisasi gerakan mahasiswa saat ini sangatlah berat, tidak banyak mahasiswa yang mau aktif dalam organisasi gerakan. Sebagian besar mahasiswa lebih fokus pada persoalan akademik perkuliahan dan tidak mempedulikan aktivitas kelompok gerakan. Kondisi demikian membuat aktivitas para aktivis gerakan menjadi berlipat ganda, karena hanya sedikit mahasiswa yang turut serta dalam kegiatan organosasi gerakan mahasiswa. Namun demikian disadari oleh peneliti bahwa ada kelemahan pada isian data ini karena tidak mengchros-checkkan dengan pihak yang terkait seperti BAAK Universitas atau Tata Usaha Fakultas. Peneliti hanya mengandalkan pada rapport yang baik dengan para aktivis gerakan mahasiswa untuk mendapatkan isian dengan benar.
j. Usia Responden
Sebagian responden aktivis gerakan mahasiswa berusia antara 19 sampai dengan 23 tahun, yakni usia produktif seseorang, sehingga mereka memiliki energi yang cukup besar untuk berorganisasi dan beraktivitas protes ke jalan. Selain itu fase ini merupakan masa-masa seseorang ingin menunjukkan jati diri sebagai individu dewasa yang memiliki keinginan untuk berbeda dan mandiri.
k. Jenis Kelamin Responden
Jumlah aktivis gerakan mahasiswa pria lebih banyak daripada wanita. Hal itu didukung pula pengamatan peneliti bahwa sangat jarang sekali aktivis wanita aktif dan bertahan lama dalam suatu organisasi gerakan mahasiswa. Hal tersebut terkait dengan resiko yang berat bagi aktivis untuk beraktivitas dalam suatu gerakan mahasiswa. Selain harus menggunakan waktu siang sampai dengan malam untuk berkumpul dan berdiskusi, ada pula resiko berhadapan langsung dengan aparat dalam demo, serta keharusan untuk berpetualang dari satu kampus ke kampus lain, bahkan sampai dengan kunjungan ke daerah lain.
l. Asal Daerah Responden
Aktivis gerakan mahasiswa yang menjadi responden sebagian besar berdomisili di luar Surabaya, baik yang berasal dari daerah lain di Jawa Timur maupun Luar Jawa Timur.
m. Pandangan tentang Status Sosial Ekonomi Keluarga
Para aktivis gerakan mahasiswa memandang keluarga atau orang tua mereka berada pada status sosial ekonomi menengah ke bawah. Hal itu berarti mendukung berbagai temuan bahwa suatu gerakan social banyak dilakukan oleh orang-orang yang berada pada status menengah ke bawah tsb. Kondisi social ekonomi seperti itu akan mengakibatkan banyak hal yang diinginkan tidakdapat diraih, sehingga mengarahkan pada keinginan untuk aktif menyuarakan perubahan system yang lebih baik.
n. Isu Penting Pertama dalam Gerakan Mahasiswa 2006
Persoalan atau isu penting bagi para aktivis untuk ikut berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa adalah persoalan yang terkait dengan masalah yang dialami masyarakat luas yakni kenaikan BBM yang dianggap memberatkan ekonomi masyarakat kelas bawah dan kesewenangan buruh, yang dianggap pula sebagai golongan yang tertindas. Jadi orientasi gerakan mahasiswa lebih tertuju pada masalah kerakyatan,yakni mencoba menyuarakan persoalan yang terjadi pada masyarakat kelas bawah. Namun demikian persoalan politik juga menjadi sorotan penting,utamanya yang terkait dengan intervensi asing dalam mewarnai kebijakan dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Hal tersebut berarti gerakan mahasiswa mau tidak mau terseret pula pada keinginan untuk masuk pada lahan politik, yakni keinginan untuk mewarnai kebijakan politik pemerintahan, bahkan ada sebagian aktivis yang melihat perlunya terjadi pergantian pemerintahan dengan yang baru, karena pemerintahan sekarang dianggap tidak lagi aspiratif menyuarakan kepentingan rakyat.
o. Isu Penting Kedua dalam Gerakan Mahasiswa 2006
Isu kedua yang penting dan dianggap bisa dijadikan fokus untuk melakukan gerakan mahasiswa adalah persoalan politik, utamanya mengkritisi pengaruh asing terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Hal tersebut karena pemerintah dianggap tidak tanggap terhadap keinginan masyarakat luas untuk selalu mengedepankan harga diri bangsa dan negara di dalam menghadapi gangguan dari negara lain, terutama berkaitan dengan masalah Tenaga Kerja Indonesia yang mendapatkan pengusiran dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari negara lain; kasus pulau-pulau di perbatasan yang mulai dikuasai oleh negara lain; intervensi Amerika dalam masalah penanganan terorisme; tekanan Australia untuk menyelesaikan berbagai kasus pengeboman di Indonesia dan “kekalahan” diplomasi Indonesia dalam masalah separatisme, mulai dari kasus Timor-Timur, Aceh, Papua, dan Ambon.
p. Isu Penting Ketiga dalam Gerakan Mahasiswa 2006
Isu penting ketiga yang menjadi fokus penting bagi para aktivis gerakan mahasiswa adalah pentingnya supremasi hokum dalam mengatur pemerintahan Negara. Hal tersebut karena selama ini penanganan hukum hanya menjerat pada kalangan masyarakat bawah sampai dengan menengah, tapi kurang efektif untuk memberi tindakan hukum pada kalangan atas, baik yang berada di institusi pemerintahan maupun swasta. Kalaupun ada vonis hukum bagi kalangan atas atau birokrasi pemerintah sipil yang bersalah, namun pada kenyataannya tidak pernah mendapatkan hukuman yang maksimal. Selain itu supremasi hukum banyak ditentukan pula oleh supremasi politik, sehingga organisasi politik mampu mencampuri urusan hukum di Negara Indonesia.
2. Hasil Uji Model dengan menggunakan Analisis PLS untuk Pengujian Hipotesis
Hasil uji hipotesis dengan menggunakan PLS mendapatkan model sebagai berikut yang tidak memenuhi persyaratan model yang fit yang kemudian dilakukan modifikasi dengan menghilangkan manifest variable yang nilainya kurang dari 0.5. Hasil secara lengkap dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Keterangan:
X1 = Egoistic Relative Deprivation
X2 = Collective Relative Deprivation
Y1 = Political Trust
Y21 = Internal Political Efficacy
Y22 = External Political Efficacy
Z = Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Berdasarkan model tersebut di atas maka didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:
Tabel 28
Hasil Perhitungan Hubungan Antar Variabel Laten
original sample estimate mean of subsamples Standard deviation T-Statistic Sign T
X1 -> Y1 0.211 0.194 0.191 1.104 0.271
X2 -> Y1 -0.502 -0.504 0.13 3.846 0.000
Y21 -> Y1 -0.315 -0.349 0.122 2.571 0.011
Y22 -> Y1 0.192 0.19 0.145 1.324 0.187
X1 -> Y21 -0.321 -0.335 0.115 2.787 0.006
X2 -> Y21 -0.224 -0.225 0.106 2.105 0.037
X1 -> Y22 0.542 0.529 0.156 3.469 0.001
X2 -> Y22 -0.524 -0.55 0.095 5.520 0.000
X1 -> Z -0.062 -0.065 0.178 0.349 0.728
X2 -> Z 0.038 0.067 0.198 0.189 0.850
Y1 -> Z -0.141 -0.107 0.146 0.967 0.335
Y21 -> Z 0.575 0.595 0.146 3.937 0.000
Y22 -> Z -0.127 -0.16 0.172 0.740 0.460
Keterangan:
X1 = Egoistic Relative Deprivation
X2 = Collective Relative Deprivation
Y1 = Political Trust
Y21 = Internal Political Efficacy
Y22 = External Political Efficacy
Z = Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa
Berdasarkan tabel tsb di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Collective Relative Deprivation berkorelasi negatif dengan political trust (p=0.000). Semakin tinggi deprivasi relatif kolektif maka semakin rendah kepercayaan pada politik. Sebaliknya semakin rendah deprivasi kolektif, maka semakin tinggi kepercayaan pada sistem politik.
b. Internal Political Efficacy berkorelasi negatif dengan political trust (p=0.011). Semakin tinggi Efikasi Politik Internal, maka semakin rendah kepercayaan pada sistem politik. Sebaliknya semakin rendah Efikasi Politik Internal, maka semakin tinggi kepercayaan pada sistem politik
c. Egoistic Relative Deprivation berkaitan dengan Internal Political Efficacy (p=0.006). Semakin tinggi deprivasi relatif egoistik semakin rendah efikasi politik internal. Semakin rendah deprivasi relatif egoistik semakin tinggi efikasi politik internal.
d. Collective Relative Deprivation berkaitan dengan Internal Political Efficacy (p=0.037). Semakin tinggi deprivasi relatif kolektif semakin rendah efikasi politik internal. Semakin rendah deprivasi relatif kolektif semakin tinggi efikasi politik internal.
e. Egoistic Relative Deprivation berkaitan dengan External Political Efficacy (p=0.001). Semakin tinggi deprivasi relatif egoistik semakin tinggi efikasi politik eksternal. Semakin rendah deprivasi relatif egoistik semakin rendah efikasi politik eksternal.
f. Collective Relative Deprivation berkaitan dengan External Political Efficacy (p= 0.000). Semakin tinggi deprivasi relatif kolektif semakin tinggi efikasi politik internal. Semakin rendah deprivasi relatif kolektif semakin rendah efikasi politik internal.
g. Internal Political Efficacy berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa (p=0.000). Semakin tinggi efikasi politik internal semakin tinggi partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Semakin rendah efikasi politik internal semakin rendah partisipasi dalam gerakan mahasiswa.
h. Egoistic Relative Deprivation tidak berkaitan dengan Political Trust.
i. External Political Efficacy tidak berkaitan dengan Political Trust.
j. Egoistic Relative Deprivation tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.
k. Collective Relative Deprivation tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.
l. Political Trust tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.
m. External Political Efficacy tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.
3. Hasil Analisis Varians
1). Perbedaan Variabel ditinjau dari Kelompok Gerakan Mahasiswa
ANOVA JENIS KELOMPOK GERAKAN MAHASISWA
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
totz Between Groups 765.646 2 382.823 4.291 .015
Within Groups 14543.728 163 89.225
Total 15309.373 165
toty1 Between Groups 8397.710 2 4198.855 3.641 .028
Within Groups 187953,067 163 1153.086
Total 196350,777 165
toty21 Between Groups 3589.263 2 1794.632 17.336 .000
Within Groups 16874.014 163 103.522
Total 20463.277 165
toty22 Between Groups 65.733 2 32.866 1.133 .325
Within Groups 4728.412 163 29.009
Total 4794.145 165
totx1 Between Groups 2225.713 2 1112.856 9.321 .000
Within Groups 19461.540 163 119.396
Total 21687.253 165
totx2 Between Groups 1610.756 2 805.378 6.606 .002
Within Groups 19872.087 163 121.915
Total 21482.843 165
Statistik Deskriptif
N Mean Std. Deviation Std. Error Minimum Maximum
Totz Moderat 64 42.75 9.301 1.163 16 60
Semi Moderat 38 42.24 9.042 1.467 23 61
Radikal 64 46.95 9.815 1.227 22 62
Total
166 44.25 9.632 .748 16 62
Toty1 Moderat 64 105.20 42.545 5.318 44 189
Semi Moderat 38 94.97 30.989 5.027 49 184
Radikal 64 89.14 24.684 3.085 41 183
Total
166 96.67 34.496 2.677 41 189
Toty21 Moderat 64 69.61 10.484 1.311 31 92
Semi Moderat 38 71.13 11.513 1.868 32 92
Radikal 64 79.66 8.948 1.119 59 100
Total
166 73.83 11.136 .864 31 100
Toty22 Moderat 64 27.45 5.546 .693 15 40
Semi Moderat 38 26.34 5.518 .895 16 41
Radikal 64 28.00 5.139 .642 17 40
Total
166 27.41 5.390 .418 15 41
Totx1 Moderat 64 62.84 8.895 1.112 45 83
Semi Moderat 38 62.24 9.143 1.483 34 82
Radikal 64 55.11 13.443 1.680 34 81
Total
166 59.72 11.465 .890 34 83
Totx2 Moderat 64 50.30 8.492 1.062 36 69
Semi Moderat 38 49.74 10.136 1.644 25 66
Radikal 64 43.70 13.527 1.691 21 66
Total
166 47.63 11.410 .886 21 69
Berdasarkan kedua tabel di atas dapat diuraikan hasil analisis varians sebagai berikut :
a). Ada perbedaan partisipasi dalam gerakan mahasiswa antara aktivis dengan jenis gerakan moderat, semi moderat dan radikal ( F=4.291; p = 0.015). Kelompok radikal memiliki partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok moderat, kelompok moderat memiliki partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok semi moderat.
b). Ada perbedaan political trust antara aktivis dengan jenis gerakan moderat, semi moderat dan radikal ( F=3.641; p = 0.028). Kelompok moderat memiliki political trust yang lebih tinggi dibandingkan kelompok semi moderat, kelompok semi moderat memiliki political trust yang lebih tinggi dibandingkan kelompok radikal.
c). Ada perbedaan internal political efficacy antara aktivis dengan jenis gerakan moderat, semi moderat dan radikal ( F=17.336; p = 0.00). Kelompok radikal memiliki internal political efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok semi moderat, kelompok semi moderat memiliki internal political efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok moderat.
d). Tidak ada perbedaan external political efficacy antara aktivis dengan jenis gerakan moderat, semi moderat dan radikal ( F=1.133; p = 0.325).
e). Ada perbedaan egoistic relative deprivation antara aktivis dengan jenis gerakan moderat, semi moderat dan radikal ( F=9.321; p = 0.00). Kelompok moderat memiliki egoistic relative deprivation yang lebih tinggi dibandingkan kelompok semi moderat, kelompok semi moderat memiliki egoistic relative deprivation yang lebih tinggi dibandingkan kelompok radikal.
f). Ada perbedaan collective relative deprivation antara aktivis dengan jenis gerakan moderat, semi moderat dan radikal ( F=6.606; p = 0.002). Kelompok moderat memiliki collective relative deprivation yang lebih tinggi dibandingkan kelompok semi moderat, kelompok semi moderat memiliki collective relative deprivation yang lebih tinggi dibandingkan kelompok radikal.
2). Perbedaan Variabel ditinjau dari Ideologi Gerakan Mahasiswa
ANOVA ANTAR IDEOLOGI GERAKAN MAHASISWA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
totz Between Groups 741.260 2 370.630 4.147 .018
Within Groups 14568.113 163 89.375
Total 15309.373 165
toty1 Between Groups 37684.150 2 18842.075 19.357 .000
Within Groups 158666,627 163 973.415
Total 196350,777 165
toty21 Between Groups 1357.626 2 678.813 5.791 .004
Within Groups 19105.651 163 117.213
Total 20463.277 165
toty22 Between Groups 294.879 2 147.439 5.341 .006
Within Groups 4499.266 163 27.603
Total 4794.145 165
totx1 Between Groups 2728.711 2 1364.356 11.730 .000
Within Groups 18958.542 163 116.310
Total 21687.253 165
totx2 Between Groups 357.337 2 178.669 1.379 .255
Within Groups 21125.506 163 129.604
Total 21482.843 165
Statistik Deskriptif
N Mean Std. Deviation Std. Error Minimum Maximum
Totz Nasionalis 84 43.88 9.323 1.017 18 61
Agama 18 39.06 7.304 1.722 23 51
Sosialis 64 46.20 10.115 1.264 16 62
Total 166 44.25 9.632 .748 16 62
toty1 Nasionalis 84 95.29 30.736 3.354 41 183
Agama 18 138.33 43.743 10.310 82 189
Sosialis 64 86.77 27.525 3.441 43 184
Total 166 96.67 34.496 2.677 41 189
toty21 Nasionalis 84 73.42 11.899 1.298 31 100
Agama 18 66.67 7.380 1.740 54 81
Sosialis 64 76.39 10.100 1.263 46 93
Total 166 73.83 11.136 .864 31 100
toty22 Nasionalis 84 28.32 6.306 .688 16 41
Agama 18 29.06 3.903 .920 21 37
Sosialis 64 25.75 3.863 .483 15 34
Total 166 27.41 5.390 .418 15 41
totx1 Nasionalis 84 62.40 9.602 1.048 36 82
Agama 18 65.06 6.548 1.543 56 80
Sosialis 64 54.70 12.957 1.620 34 83
Total 166 59.72 11.465 .890 34 83
totx2 Nasionalis 84 48.36 8.445 .921 35 69
Agama 18 50.28 5.539 1.306 42 66
Sosialis 64 45.92 15.267 1.908 21 66
Total 166 47.63 11.410 .886 21 69
Berdasarkan kedua tabel di atas dapat diuraikan hasil analisis varians sebagai berikut :
a). Ada perbedaan partisipasi dalam gerakan mahasiswa antara aktivis dengan ideologi gerakan nasionalis, agama dan sosialis ( F=4.147; p = 0.018). Kelompok dengan ideologi sosialis memiliki partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok ideologi nasionalis, kelompok nasionalis memiliki partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok agama.
b). Ada perbedaan political trust antara aktivis dengan ideologi gerakan nasionalis, agama dan sosialis ( F=19.357; p = 0.000). Kelompok agama memiliki political trust yang lebih tinggi dibandingkan kelompok nasionalis, kelompok nasionalis memiliki political trust yang lebih tinggi dibandingkan kelompok sosialis.
c). Ada perbedaan internal political efficacy antara aktivis dengan ideologi gerakan nasionalis, agama dan sosialis ( F=5.791; p = 0.004). Kelompok sosialis memiliki internal political efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok nasionalis, kelompok nasionalis memiliki internal political efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok agama.
d). Ada perbedaan external political efficacy antara aktivis dengan ideologi gerakan nasionalis, agama dan sosialis ( F=5.341; p = 0.006). Kelompok agama memiliki external political efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok nasionalis, kelompok nasionalis memiliki external political efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok sosialis.
e). Ada perbedaan egoistic relative deprivation antara aktivis dengan ideologi gerakan nasionalis, agama dan sosialis ( F=11.730; p = 0.00). Kelompok agama memiliki egoistic relative deprivation yang lebih tinggi dibandingkan kelompok nasionalis, kelompok nasionalis memiliki egoistic relative deprivation yang lebih tinggi dibandingkan kelompok sosialis.
f). Tidak ada perbedaan collective relative deprivation antara aktivis dengan ideologi gerakan nasionalis, agama dan sosialis ( F=1.379; p = 0.255).
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan PLS didapatkan suatu model baru tentang gerakan mahasiswa di Indonesia. Ada beberapa hal yang sudah sesuai dengan teori yang sudah ada sebelumnya, namun demikian sebagian besar hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbeda sama sekali.
Hasil yang sangat berbeda dengan teori dan kajian atau penelitian tentang gerakan mahasiswa di Negara lain, terutama tidak terbuktinya keterkaitan antara deprivasi relatif, baik egoistik (individual) maupun kolektif dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Hal ini berarti bertentangan dengan kajian teori dan berbagai studi yang dilakukan oleh Gurr, Runciman, Walker & Pettigrew (Grant & Brown,1995) yang menemukan bahwa faktor psikologis yang memotivasi seseorang untuk melakukan protes secara kolektif adalah deprivasi relatif. Bahkan Gurr (Soenyono, 2005) mengungkapkan bahwa gerakan sosial terjadi ketika banyak anggota masyarakat yang marahkarena ada situasi yang merangsangnya, yakni lebarnya jurang pemisah antara harapan akan adanya perubahan dengan kemampuan untuk memenuhi sesuatu yang diinginkan. Jurang pemisah ini yang disebut sebagai deprivasi relatif. Kondisi semakin bertambah parah saat terjadi politisasi terhadap ketidakpuasan adanya aktualisasi ketidakpuasan dalam bentuk aksi kekerasan kolektif. Kondisi inilah yang dinamakan dengan progressive derpivation. Hal ini didukung pula oleh hasil riset dari Ladd & Pettigrew (dalam DiRenzo, 1990); Useem, 1980, 1985; Useem & Kimball, 1989; Stephan & Stephan (1985) yang mengkaitkan antara deprivasi relatif dengan partisipasi individu dalam gerakan protes secara kolektif.
Namun demikian apabila dikaji dari pandangan Goodwin dan Jasper (2003) bahwa gerakan sosial model baru sangat berbeda dengan paradigma lama dari suatu gerakan sosial. Gerakan sosial dengan paradigma baru cenderung tidak lagi berbicara dalam tataran perbedaan atau kesenjangan kelas atau ketidakpuasan, namun lebih mendasarkan pada kesetaraan kepentingan, terutama kepentingan akan perubahan atau konflik politik. Oleh karena itu pandangan bahwa deprivasi relatif menjadi determinan utama munculnya gerakan mahasiswa patut dipertanyakan lagi. Hal tersebut karena perasaan kekurangan yang mengarah pada munculnya gerakan kolektif hanya terjadi pada negara yang berada dalam kondisi belum stabil, baik secara politik, sosial dan ekonomi. Namun demikian pada negara yang sudah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan tentunya persoalan kekurangan tidaklah menjadi acuan dasar untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial. Sebagaimana diketahui aktivitas mahasiswa lebih banyak disandarkan pada idealisme akan peran penting mereka dalam melakukan berbagai perubahan penting dalam sistem politik nasional. Idealisme sebagai aktivis mahasiswa yang mengorbankan berbagai kepentingan diri sendiri demi kepentingan organisasi dan masyarakat itulah yang mendasari keinginan untuk beraktivitas dalam sebuah organ gerakan mahasiswa.
Apalagi bila melihat pada hasil deskripsi para aktivis gerakan mahasiswa yang memandang diri mereka pada status sosial ekonomi keluarga pada tingkatan yang cukup (89%). Jadi berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa bukan lagi didasarkan pada kondisi ekonomi yang penuh kekurangan, namun lebih didasarkan pada pemikiran yang rasional, bahwa adanya keinginan untuk memunculkan perubahan, utamanya kondisi politik. Apalagi ideologi gerakan mahasiswa mau tidak mau terkooptasi oleh aliran politik tertentu, misalnya GMNI yang berideologi nasionalis cenderung mendukung PDI Perjuangan dan Partai Politik yang beraliran nasionalis; PMII dan HMI yang memiliki ideologi agama cenderung mendukung atau berafiliasi pada partai politik berasaskan agama (PKB, PPP, PAN dll); sementara itu gerakan mahasiswa yang beraliran sosialis cenderung mendukung organisasi masyarakat atau parpol yang mendukung perjuangan buruh. Jadi masing-masing gerakan mahasiswa mau tidak mau telah dituntun oleh berbagai kepentingan orsospol yang memiliki ideologi tertentu yang sesuai dengan ideologi organ gerakan mahasiswa.
Sebagaimana diketahui ideologi gerakan memiliki berbagai fungsi (Soenyono, 2005) di antaranya sebagai struktur kognitif yakni informasi, pengetahuan, fakta yang dijadikan landasan untuk memahami dan menafsirkan berbagai kejadian dan dunia sosial. Informasi ini menjadi bagian yang penting dan tak terpisahkan bagi suatu gerakan untuk memberi makna dan arah bagi suatu gerakan. Pemahaman mahasiswa akan sebuah gerakan akan menuntun mereka untuk beraktivitas sesuai dengan informasi, pengetahuan dan fakta yang didapatkan dalam kehidupan keseharian. Selain itu ideologi merupakan kekuatan yang mampu memberi semangat dan memotivasi seseorang untuk menjalankan aktivitasnya. Mahasiswa menjalankan aktivitas dalam sebuah gerakan apabila didorong oleh ideologi tertentu akan semakin menguatkan dasar-dasar dalam menjalankan aktivitasnya. Jadi bukan perasaan kekuarangan atau deprivasi relatif yang mewarnai mereka, namun juga ideologi gerakan menjadi suatu kekuatan besar dalam menjalankan aktivitasnya.
Selain itu deprivasi relatif tidak adanya keterkaitan dengan partisipasi mahasiswa dalam organ gerakan mahasiswa dapat dikaji dari beranekaragamnya isu yang digunakan dalam aktivitas gerakan mahasiswa, yang tidak semuanya terkait dengan ketidakpuasan atau perasaan kekurangan akan sesuatu. Namun demikian lebih didasarkan ingin adanya perubahan pada sistem politik atau pemerintahan yang ada. Selain itu didasarkan oleh idealisme sebagai kaum muda yang ingin berperan aktif dalam percaturan politik atau untuk memberikan warna pada kebijakan pemerintah.
Tidak terbuktinya keterkaitan secara langsung antara kepercayaan pada sistem politik dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa ini bertentangan dengan pandangan Milbrath & Coel serta Conway (dalam Mangum, 2003), Guterbock & London (Mangum, 2003), serta James M Jasper (Goodwin & Jasper, 2003) yang mengkaitkan antara kepercayaan pada sistem politik dengan kecenderungan berpartisipasi dalam gerakan sosial. Hal ini bisa dijelaskan bahwa gerakan yang dilakukan oleh para aktivis tidak sepenuhnya terkait dengan ketidakpercayaan pada sistem politik secara keseluruhan, namun hanya pada sub sistem politik. Misalnya masih ada kepercayaan pada beberapa pilar politik, seperti organisasi keagamaan dan pemuda. Namur demikian pada pilar politik yang lain, utamanya birokrasi pemerintahan, legislatif, yudikatif dan partai politik, masih kurang adanya kepercayaan dari para responden aktivis gerakan mahasiswa.
Hal tersebut karena birokrasi pemerintahan masih dianggap penuh dengan perilaku negatif utamanya korupsi. Hal ini nampak dari banyaknya pejabat birokrasi pemerintahan yang dijadikan tersangka bahkan terdakwa kasus korupsi. Begitu pula gejala ketidaksensitifan dari kalangan legislatif yang cenderung tidak memikirkan rakyat, namur cenderung mengarah pada keputusan politik yang melanggengkan kepentingan personal atau kelompoknya. Hal ini nampak dari semakin banyaknya fasilitas yang diminta dan diberikan kepada anggota dewan legislatif yang sebenarnya tidak sepadan dengan kinerja dan prestasi yang mereka lakukan. Selain itu banyak juga anggota legislatif di pusat maupun daerah yang kemudian menjadi tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Hal yang sama terjadi pula pada kalangan yudikatif atau aparat hukum yang cenderung menggunakan kekuasaan dalam bidang hukum hanya untuk menangani orang-orang “kecil”, ditengarainya banyak mafia peradilan, serta keputusan-keputusan hukum yang kontroversial dan tidak berpihak pada rakyat masih nampak dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu partai politik cenderung dianggap sebagai biang keladi kerusakan di sistem negara Indonesia ini, karena banyaknya kepentingan politik yang menggusur kepentingan yang lebih luas, yakni kepentingan masyarakat. Selain itu banyaknya fenomena money politik, kebohongan akan janji selama kampanye, serta pertikaian atau konflik antar parpol menjadi pemicu pula ketidakpercayaan pada sub sistem politik.
Selain itu ada beberapa variabel yang saling berkaitan, namun memiliki arah hubungan yang berbeda, baik secara teoritis maupun logika causal analysis, antara lain : Adanya keterkaitan atau korelasi positif antara deprivasi relatif egoistik dengan efikasi politik eksternal. Menurut Renshon, Niemi, Craig dan Mattei (McLean, 2006) external political efficacy adalah tingkatan persepsi seseorang tentang responsibilitas pejabat dan institusi pemerintah terhadap kebutuhan warga negara, misalnya harapan akan tercapainya demokrasi. Efikasi politik eksternal merupakan keyakinan bahwa pejabat pemerintah responsif terhadap kepentingan rakyat dan institusi politik, serta pemerintah mendukung agar para pejabat responsif. Hasil penelitian terkait dengan hubungan kedua varibel tersebut dapat dijelaskan bahwa seseorang yang semakin mengalami ketidakpuasan secara individual, maka semakin memiliki pandangan positif bahwa para pejabat publik dan pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap kebutuhan warga negara (termasuk para aktivis gerakan mahasiswa). Sebaliknya aktivis gerakan mahasiswa yang semakin merasa puas bahwa keinginannya sebagian besar tercapai, maka akan memiliki pandangan negatif pada pejabat publik dan pemerintah.
Hasil ini tentunya berbeda dengan logika berfikir sebab akibat bahwa seseorang yang tidak puas akan segala persoalan yang terkait dengan diri pribadinya tentunya akan memiliki pandangan negatif terhadap pemerintah dan para pejabatnya yang dianggap tidak responsif akan persoalan yang terjadi pada dirinya. Sebaliknya seseorang yang semakin merasakan kepuasan mendapatkan segala sesuatu di dalam kehidupannya, maka akan semakin memiliki pandangan positif pada pejabat publik dan pemerintah.
Hal tersebut dapat dijelaskan dengan asumsi sebagai berikut, aktivis mahasiswa yang semakin puas secara individual, maka akan semakin mengembangkan harapan untuk mendapat sesuatu dari pemerintah. Pemerintah dianggap bertanggung jawab memenuhi kewajiban warga negara termasuk kepada aktivis mahasiswa. Aktivis mahasiswa memunculkan tuntutan yang semakin besar, walaupun mereka merasakan kepuasan akan didapatkannya keinginannya. Hal tsb karena secara psikologis, kepuasan akan sesuatu tidak akan berhenti pada kutub tertentu, namun akan semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya stándar kehidupan seseorang. Apabila sebelumnya gerakan mahasiswa mendapatkan “ruang” kebebasan untuk mengekspresikan keinginannya, maka akan merengkuh pada keinginan lain untuk turut “campur” mengurus aktivitas pemerintahan, ingin berpratisipasi dalam setiap keputusan pemerintah, mencoba untuk mencari kebebasan yang lebih besar, dsb.
Hasil lain menunjukkan adanya keterkaitan atau korelasi positif antara efikasi politik internal dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Hal tersebut berarti seorang aktivis gerakan mahasiswa yang semakin merasa yakin mampu berperan atau berpartisipasi aktif dalam perpolitikan nasional, maka semakin besar keinginan untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan mahasiswa. Sebaliknya semakin merasa kurang yakin akan kemampuannya untuk berperan dalam kancah perpolitikan nasional, maka akan semakin berkurang partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Hal ini tentunya bertentangan dengan pandangan secara umum bahwa seseorang yang merasa mendapat peran akan menurunkan keinginan untuk melakukan protes dalam sebuah gerakan, sebaliknya semakin seseorang merasa kurang mampu, maka barulah mereka akan menumpahkan keinginan untuk melakukan protes dalam sebuah gerakan sosial. Hal tersebut berarti aktivis mahasiswa dalam organ gerakan mahasiswa tidak berhenti walaupun mereka mendapatkan peran penting (diakui, diberi kebebasan). Hasil ini juga sesuai dengan sifat gerakan mahasiswa yang cenderung memunculkan kontinuitas yang sifatnya temporal, artinya aktivitas gerakan mahasiswa akan selalu eksis pada situasi dan kondisi tertentu yang memerlukan perubahan di masyarakat, akan berhenti pada saat tertentu namun akan kembali lagi beraktivitas dalam suatu organ gerakan mahasiswa pada situasi lain. Sebagaimana diketahui dalam sejarah munculnya gerakan mahasiswa, ternyata tidak pernah berhenti. Namun demikian akan muncul dalam bentuk yang berbeda pada waktu yang lain, walaupun mengalami berbagai macam tekanan politik. Bahkan dalam kondisi yang dianggap masyarakat sudah mengalami kemajuan dan kondisi yang stabilpun (tercapainya kepuasan dan rasa yakin bahwa kemampuannya diakui), gerakan mahasiswa tidak pernah berhenti untuk beraktivitas.
Selain hasil penelitian di atas, ada beberapa hasil penelitian yang menarik dan sesuai dengan kondisi sebenarnya dari gerakan mahasiswa, yakni : Adanya keterkaitan atau korelasi negatif antara deprivasi relatif, baik egoistik maupun kolektif dengan efikasi politik internal. Niemi, Craig dan Mattei (McLean, 2006) mendefinisikan internal political efficacy sebagai keyakinan seseorang pada kompetensinya untuk memahami dan berpartisipasi secara efektif di bidang politik. Ditambahkan oleh McLean (2006) bahwa internal political efficacy adalah keyakinan seseorang untuk berpartisipasi di bidang politik, misalnya ikut pemilu, mendukung finansial kandidat atau berdiskusi dengan teman tentang politik. Berdasarkan hasil analisis data diketemukan bahwa aktivis gerakan mahasiswa yang semakin merasakan ketidakpuasan atau kekurangan, baik secara pribadi maupun kolektif, maka semakin merasa tidak yakin bisa berpartisipasi di bidang politik.
Selain itu ada keterkaitan atau korelasi negatif antara deprivasi relatif kolektif dengan efikasi politik eksternal. Hal tersebut berarti seseorang yang merasa diri dan kelompoknya mengalami ketidakpuasan atau halangan dalam mendapatkan sesuatu, maka akan mengarahkan pandangan negatif akan pemerintah dan para pejabat publik. Sebaliknya semakin merasa bahwa kelompoknya mendapatkan sesuatu yang diinginkan, maka semakin memandang positif pada pemerintah dan pejabat publik. Hasil tersebut memberikan suatu konsekuensi logis bahwa pemerintah dan pejabat harus memberikan jawaban atas segala persoalan terkait dengan persoalan kolektif masyarakat, khususnya para aktivis mahasiswa, sehingga menumbuhkan rasa berperan dalam bidang politik, dalam arti akan muncul pandangan positif pada para pemerintah dan pejabat publik.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2005. Penghakiman Massa : Kajian atas Kasus dan Pelaku. Accompli Publishing. Jakarta.
Allen, D.E., Guy, R.F., Edgley, C.K. 1980. Social Psychology as Social Process. Wadworth Inc. California.
Altbach, Philip, G. 1988. Politik & Mahasiswa : Perspektif & Kecenderungan Masa Kini. Gramedia. Jakarta.
Almond, Gabriel A. & Verba, Sydney. 1973. The Civic Culture : Political Attitudes & Democracy in Five Nations.3-rd edition. Sage Publications Inc. California.
Ancok, Djamaludin. 1989. Wanita Sendiri yang Merasa dirinya Rendah. Kirana: :Lembar Wanita. Kedaulatan Rakyat. 12 April 1989. 13.
Angelique, Holly L., Reischl, Thomas M., Davidson II, Wlliam S. 2002. Promoting Political Empowerment : Evaluation of an Intervention with University Students. American Journal of Community Psychology. Dec 2002. V 30 Iss 6 page 815.
Aribowo. 1992. Gerakan Mahasiswa 1966 Sebagai Kekuatan Politik Anomi. Tesis. Tidak Diterbitkan. Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Badudu, J S; Zain, Sutan M. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Baron, Robert A. & Byrne, Donn. 2003. Social Psychology. 10-th edition. Pearson Education, Inc. Boston.
Basir, Suparlan A. 2004. Perilaku Demonstran Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. Ringkasan Disertasi. Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Basrowi & Sukidin. 2003. Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Penerbit Insan Cendekia. Surabaya.
Brady, Henry E., Verba, Sidney., Schlozman, Kay L. 1995. Beyond SES : A Resource Model of Political Participation (Socioeconomic Status as Explanation for Political Activity). American Political Science Review. June 1995. Vol 89 n 2 p 271.
Branden, N. 1980. The Psychology of Self Esteem. Bantam Books. New York.
Brannen, Julia. 2004. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Terjemahan. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.
Brigham, John C. 1991. Social Psychology. Harper Collins Publishers Ind. New York.
Bryder, Tom. 1994. Patterns for Future Research on Self Esteem and Human Dignity in Mass Society. Political Psychology. September. v: 15 (3). 401-414.
Buss, A. 1973. Psychology Man in Perspective. John Wiley & Sons Ind. New York
Chan, Sophia. 1997. Effects of Attention to Campaign Coverage on Political Trust. International Journal of Public Opinion. Vol 9. iss 3. p 286. Oxford : Autumn.
Coleman,J.W., Kerbo, H.R. 2003. Social Problems: A Brief Introduction. Prentice Hall. Upper Sadle River. New Jersey.
Cook, K.S., Fine, G.A., House, J.S. 1995. Sociological Perspectives on Sosial Psychology. Allyn & Bacon. Massachusset.
Coopersmith, Stanley. 1967. The Antecedent of Self Esteem. W.H. Freeman & Co. San Francisco.
Coovert,MD., Penner, L A., MacCallum, R. 1990. Covariance Struture Modeling in Personality & Social Psychological Research. Edited by Clyde Hendrick & Margaret S Clark. Sage Publications.Newbury Park. California.
Daradjat, Z. 1985. Kesehatan Mental. Gunung Agung. Jakarta.
Davies, JC. 1962. Toward A Theory of Revolution. American Sociological Review. 27, 5-18.
Davin. Keith. 1967. Human Relation at Work, The Dinamics of Organizational Behaviour. Mc Graw Hill Indc. New York.
DiRenzo, G. 1990. Human Social Behavior: Concepts & Principles of Sociology. Holt, Rinehart & Winston. USA.
Dixon, Marc., Roscigno Vincent J. 2003. Status, Network and Social Movement Participation : the Case of Striking Workers. American Journal of Sociology. May 2003 v 108 I 6 p 1292.
Duffy,Karen G., Wong, Frank Y. 2003. Community Psychology. Third edition. Pearson Education Inc. Boston.
Eriyanto. 1994. Ramai-ramai Kembali ke Pangkuan Rakyat. Balairung. No. 20/VIII/ 1994. h.33-35. Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 2002. Social Movements sebagai Alternatif terhadap Civil Society. Wacana.edisi 11. tahun III. Insist Press.
Faturochman, 2002. Keadilan : Perspektif Psikologi. Kerjasama Unit Penerbitan Fakultas Psikologi UGM dengan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Faturohman, Deden& Sobari, Wawan. 2004. Pengantar Ilmu Politik. UMM Press.Malang.
Feuer, Lewis S. 1969. The Conflict of Generation. Basic Books Ind. New York.
Fitch, G. 1972 Effects of Self Esteem, Perceived Perfomance and Choice on Causal Attibution. Journal of Psychology & Social. 16, 311-315.
Foran, Johan. 2004. The Future of Revolutions: Masa Depan Revolusi di Era Globalisasi. Insist Press. Yogyakarta.
Fox, Dennis., & Prillentensky, Issac. 1999. Critical Psychology: An Introduction. Sage Publication ltd. London.
Frey, Diane., Carlock, C.J. 1987. Enhacing Self Esteem. Ancelerated Development Inc. Muncie. New York.
Gerungan, W.A. 1996. Psikologi Sosial. PT. Eresco. Bandung.
Geschwender, JA. 1967. Continuities in the Theories of Status Consistency and Cognitive Dissonance. Social Forces. 46, 160-171.
Grant, Peter R., & Brown, Rupert. 1995. From Ethnocentrism to Collective Protest: Responses to Relative Deprivation and Threats to Social Identity. Social Psychological Quarterly. Sep 1995. Vol 58. Iss 3. pg195. Washington.
Goodwin, Jeff & Jasper, James M. 2003. The Social Movement Reader: Cases and Concepts. Blackwell Publishing. Cowley Road, Oxford.UK.
Gurr, TR. 1970. Why Men Rebel?. Princeton University Press. New York.
Hagopian, Mark N. 1978. Regimen, Movement & Ideologies : A Comparative Introduction to Political Science. Longman. New York.
Hamka. 2000. Gerakan Mahasiswa Indonesia Studi Perbandingan Antara Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998. Tesis. Tidak Diterbitkan. Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Haryanto. 1987. The Phases of the Indonesian Students Movements 1966-1978: Descriptive Study. A Thesis Presented to The Faculty of The Graduate School Ateneo de Manila University.
Haslam, S. Alexander. 2001. Psychology in Organizations : The Social Identity Approach. Sage Publications. London.
Henslin, James M. 2005. Sociology : A Down to Earth Approach. 7-th edition. Allyn & Bacon. Boston.
Hetherington,Marc J. 1998. The Political Relevance of Political Trust. The American Political Science Review. Vol. 92. Iss. 4. p 791. Proquest Social Science Journals.
Hjelle., Ziegler, D.J. 1976. Personality. Mc Graw-Hill Kogakusha Ind. Tokyo.
Hoffer, Eric. 1993. Gerakan Massa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Iwan, Gunawan. 1993. Mahasiswa, Peran Politik dan Sistem Pendidikan. Sintesa. No. 09/VI/1993.41
Karim, Rusli. 1992. Posisi Mahasiswa dalam Konstelasi Politik Nasional. Bernas. 22 April 1992.
Kerlinger, F.N. 1993. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Klandermans, Bert. 2005. Protes dalam Kajian Psikologi Sosial. Terjemahan Helly P. Soetjipto. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Klass, W.H. & Hodge, S.E. 1978. Self Esteem in Open and Traditional Classrooms. Journal of Educational Psychology. 70, 5, 701.
Knutson, Jeanne N. 1973. Handbook of Political Psychology. Jossey-Bass Publishers. California.
Koentjoro. 1989. Perbedaan Harga Diri Remaja di Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Pelacur. : Laporan Penelitian Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.
Kornhauser, W. 1959. The Politics of Mass Society. Free Press. New York.
Kuppuswamy, B. 1979. Elements of Social Psychology. Vikas Publishing House PVT Ltd. New Delhi.
Legget, J. 1964. Economic Insecurity and Working Class Consciousnes. American Sociological Review. 29, 226-234.
Levine, R.L., Fitzgerald, H.E. 1992. Analysys of Dynamic Psychological System 2. Plenum Pres. New York.
Lindzey, G. & Aronson, E. 1975. The Handbook of Social Psychology. Addison-Wesley Publishing Co.Inc. New York.
Lipset,Seymor M. 1968. Students & Politics in Comparative Perspective. Deadalus. Vol:97, No.1, 2-3.
Locher, David A. 2002. Collective Behavior. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey.
Lofland, John. 2003. Protes : Studi tentang Perilaku Kelompok dan Gerakan Sosial. Terjemahan. Insist Press. Yogyakarta.
Lofland, John., & Stark, Rodney. 1965. Becoming a World Saver : A Theory of Religious Conversion. American Sociological Review. 30. 862-874.
Lopa, Baharuddin.1998. Perjuangan Mahasiswa Perlu Didukung. Menggusur Status Quo. Editor Andito. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Mangum, Maurice. 2003. Psychological Involvement and Black Voter Turnout. Political Research Quarterly. Mar 2003. Vol 56. Iss 1 .p 41. Salt Lake City.
Marx,Gary T. & McAdam, Douglas. 1994. Collective Behavior & Social Movements : Process & Struture. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey.
Masdar, U., Hermawan, E., Hakim, MA., Khoiron, MN., Alimi, MY., Huda, N., Zulfa, AS. 1999. Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik. LkiS. Yogyakarta.
Mas’oed, M & Mac Andrews, C. 1986. Perbandingan Sistem Politik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Matulessy, Andik. 2003. Gerakan Mahasiswa. Penerbit Wineka Media. Malang.
McLean, Stephanie C. 2006. Election Legitimacy in the United States : Effects on Political Efficacy, Trust and Participation. Dissertation. Facullty of Arts & Sciences. University of Pittsburg.
Michener,H Andrew., Delamater, John D. 1999. Social Psychology. 4-th edition. Harcourt Brace College Publ.Fortworth
Miftahuddin. 2004. Radikalisasi Pemuda : PRD Melawan Tirani. Desantara. Jakarta.
Miller, Paul JE., Rempel, John K. 2004. Trust & Partner-Enhancing Attributions in Close Relationships. Personality & Social Psychology Bulletin. Vol 30, No 6, June 2004, 695-705. Society forPersonality & Social Psychology, Inc.
Mischel, HN & Mischel, W. 1973. Reading in Personality. Holt, Rinehart & Winston Inc. New York.
Misztal, Barbara A. 2001. Trust & Cooperation : The Democratic Public Sphere. Journal of Sociology. Dec. v 37. I 4. p 37.
Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Insist Press. Yogyakarta.
Morrell, Michael E. 2003. Survey and Experimental Evidence for a Reliable and Valid Measure of Internal Political Efficacy. Public Opinion Quarterly. Winter 2003.Vo.67.Iss 4. pg 589.-602. Chicago.
Moyer, Bill. 2006. Membangun Perlawanan Rakyat. Pustaka Kendi. Yogyakarta.
Muluk, Hamdi., Reksodiputro, Adrianto. 2005. Prediktor Pembeda Aktivis Mahasiswa Berdasarkan Orientasi Politik dan Partisipasi Politik. Jurnal Psikologi Sosial. Vol.11, No.02, Januari 2005.
Myers, David G. 2002. Social Psychology. 7-th edition. The Mc Graw-Hill Companies, Inc. New York.
Nasri, Imron. 1993. Mahasiswa dan Masa Depan Politik Indonesia. Bentang Offset. Yogyakarta.
Niemi, Richard G., Craig, Stephen C., Mattei, Franco. 1991. Measuring Internal Political Efficacy in the 1988 National Election Study. The American Political Science Review. Dec 1991. 85. 4.
Oliver, Pamela E. 1984. If You Don t Do It, Nobody Else Will : Active & Token Contributors to Local Collective Action. American Sociological Review. 49. 601-610.
Orum, AM. 1974. On Participation in Political Protest Movements. Journal of Applied Behavior Science. 10. 181-207.
Parwoto. 1995. Mereka Gelisah,Mereka Melawan. Himmah. No 01/ th XXVIII/ 1995.52-56.
Pinkleton, Bruce E., Austin, Erica W., Fortman, Kristine K J. 1998. Relationship of Media Use and Political Disaffection to Political Efficacy and Voting Behavior. Journal of Broadcasting & Electronic Media. Winter 1998 V 42 n 1 p 34.
Pudjibudoyo, JKK. 1988. Aspirasi Pekerjaan Remaja dalam Kaitannya dengan Harga Diri. Tesis. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.
Putu. 1996. Mahasiswa vs Rektor dan Militer?. Paradigma. No 07/II/ Feb-Mar 1996.34.
Raillon, F. 1989. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia. LP3S. Jakarta.
Rey, Cheryl de la., Raju, Patricia. 1996. Group Relative Deprivation : Cognitive versus Affective Components and Protest Orientation Among Indian South Africans. The Journal of Social Psychology. October 1996. Vol 136 n 5 p 579.
Riyanto, Agus. 1995. Pedoman Etik Mahasiswa : Upaya Meregulasi Kehidupan Kampus. Balairung . no. 22 /th IX/1995. 28-29.
Runciman, W.G. 1966. Relative Deprivation and Social Justice. University of California Press. Barkeley.
Sanit, Arbi. 1982. Sistem Politik Indonesia : Kestabilan, Peta Kekuatan Politik & Pembangunan. CV Rajawali. Jakarta.
Sarwono, Sarlito W. 1978. Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa. Penerbit Bulan Bintang. Jakarta.
------------------------. 2003. Psikologi dalam Praktek. Editor Kaelany HD. CV Restu Agung. Jakarta.
Scherer, Klaus R; Abeles, Ronald P.; Fischer, Claude S. 1975. Human Aggression & Conflict : Interdisciplinary Perspectives. Prentice-Hall Inc. Engelwood Cliffs. New Jersey.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian Sehat. Kanisius. Yogyakarta.
Semetko, Holli A., Valkenbyrg, Patti M. 1998. The Impact of Attentiveness on Political Efficacy, Evidence From A Three Year German. International Journal of Public Opinion Research. Fall 1998.Vol 10 I 3 p195.
Semin, Gun R. & Fiedler, Klaus. 1996. Applied Social Psychology. Sage Publications. Bonhill Street. London.
Sherkat, Darren E. & Blocker, T.Jean. 1997. Explaining the Political and Personal Consequences of Protest. Social Forces. Mar 1997. Vol 75. Iss 3. pg 1049. Chapel Hill.
Sihombing, Justin M. 2005. Kekerasan terhadap Masyarakat Marginal. Penerbit Narasi. Yogyakarta.
Sjamsudin, Nasrudin. 1993. Dinamika Sistem Politik Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Skocpol, Theda. 1991. Negara dan Revolusi Sosial. : Suatu Analisis Komparatif tentang Perancis, Rusia dan Cina. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Stallings, RA.1973. Patterns of Belief in Social Movements: Clarifications from an Analysis of Environment Groups. Sociological Quarterly.14.465-480.
Stephan, Cookie White & Stephan, Walter G. 1985. Two Social Psychologies : An Integrative Approach. The Dorsey Press, Homewood. Illionis.
Stewart,Eric., Weinstein, Rhona S. 1997. Volunteer Participation in Context : Motivations and Political Efficacy within Three AIDS Organizations. American Journal of Community Psychology. Dec 1997. Vol 25. Iss 6. pg 809. New York.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Widiasarana. Jakarta.
Suharsih dan Mahendra, Ign. 2007. Bergerak Bersama Rakyat ! : Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial Di Indonesia. Resist Book. Yogyakarta.
Suryanto.1996. Agresi Penonton Sepak Bola. Tesis. Tidak Diterbitkan. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Useem, Bert. 1980. Solidarity Model, Breakdown Model, and the Boston Anti Busing Movement. American Sociological Review. 45. 357-369.
---------------. 1985. Disorganization & The New Mexico Prison Riot of 1980. American Sociological Review. 50.677 – 688.
Useem, Bert & Kimball, P. 1989. States of Siege : US Prison Riots 1971-1986. Oxford University Press. New York.
Vardhati, Conitatun. 1988. Pengaruh Latihan Motivasi Berprestasi terhadap Harga Diri Pelajar SMEA pemda Berbah Sleman di Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.
Virianita, Ratri., Markum, M Enoch., & Ramdhan, M. 2003. Pengaruh Identifikasi Kolektif dan Keyakinan Subyektif Mengenai Permeabilitas Kelompok terhadap Partisipasi Buruh dalam Aksi Unjuk Rasa. Jurnal Psikologi Sosial. Vol 9, no.01, Juli 2003.
Walgito, Bimo.2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Penerbit Andi. Yogyakarta.
Wibawa, Samodra. 1992. Beberapa Konsep untuk Administrasi Negara. Liberty. Yogyakarta.
Wiggins,JA., Wiggins, BB., Zanden, JV. 1994. Social Psychology. Mc Graw Hill. Inc. New York.
Yumpi, FR. 1996. Perilaku Demonstran : Studi tentang Kelompok Gerakan Sosial Mahasiswa Forum Mahasiswa Jombang. Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.
Zeitlin, M. 1966. Economic Insecurity and the Political Attitudes of Cuban Workers. American Sociological Review.31. 31-51.
--------------.2004. Utopia Mahasiswa. Senthir. Edisi VI. Mei-Juni 2004.
Kamis, 11 September 2008
Langganan:
Postingan (Atom)